Thursday, May 26, 2011

RASA AGAMA

Oleh: Bang Toib



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Rasa keagamaan adalah suatu dorongan dalam jiwa yang dapat membentuk rasa percaya kepada Sang Pencipta Alam semesta dan manusia, rasa tunduk, serta dorongan taat terhadap aturan-aturan-Nya. Dari gambaran tersebut maka rasa keagamaan mengandung dua dorongan Ketuhanan dan Moral ( taat aturan ). Para ahli psikologi agama berpendapat bahwa rasa keagamaan memiliki akar kejiwaan yang bersifat bawaan ( innate ) dan berkembang yang dipengaruhi oleh faktol eksternal.[1]
Masa Remaja adalah keadaan suatu fase perkembangan yang merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan dari masa tanpa identitas ke masa memiliki identitas diri. Pada fase perkembangan ini biasanya semua aspek jiwa yang ada dalam diri akan mengalami masa transisi yang akan ditandai dengan suasana penuh dengan gejolak. Maka tidak aneh jika pada masa remaja banyak yang melakukan perbuatan yang menyimpang ( Negative ). Artinya, bahwa perkembangan rasa agama usia remaja pun mengalami masa atau suasana transisi yaitu situa keagamaan yang berada dalam perjalanan menuju kedewasaan rasa keagamaan, yang nantinya dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab serta menjadikan rasa agama sebagai dasar filsafat hidup.
Namun, fenomena yang terjadi di masyarakat banyak remaja yang mempunyai rasa agama yang pendek atau minim dan banyak kenakalan yang dilakukan oleh kalangan remaja yang sedang mengalami suasana gejolak. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian dalam dunia pendidikan karena ini adalah sebuah problematika yang harus diselesaikan jalan keluarnya, dan khususnya pada pendidikan agama islam yang notabene sebagai upaya yang sadar dan sistematis untuk mengembangkan potensi rasa agama yang ada dalam diri manusia, sehingga nanti akan terbentuk karakter yang mempunyai rasa agama yang kuat.
Dengan pertimbangan inilah, maka penulis sebagai mahasiswa pendidikan agama islam tertarik untuk mengkaji problem ini. Sehingga penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah yang betemakan tentang Rasa Agama Usia Remaja dan Implikasinya Dalam Pendidikan Agama Islam. Dan besar harapan penulis dengan terselesaikannya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis sendiri. Sehingga kita semua nantinya dapat mendidik anak-anak kita dalam jalan yang baik dan positif. “Tak ada gading yang tak retak” penulis yakin pastinya dalam sebuah penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik dari segi penulisan maupun pembahasannya yang kurang baik. Maka dari itu penulis membuka dengan lebar-lebar atas kritik dan saran yang diberikan kepada kami. Harapannya kritik dan saran ini akan menjadi pembelajaran agar kami semua lebih baik lagi.
B.     Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang di atas maka penulis dapat menarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Aspek-aspek perkembangan rasa agama pada fase remaja ?
2.      Bagaimana karakteristik agama dan kriteria kesadaran keberagamaan pada fase remaja ?
3.      Bagaimana konflik dan keraguan dan Implikasi dalam pendidikan agama islam ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Rasa Agama
Rasa agama adalah cristal-cristal nilai agama dari dalam diri manusia sebagai produk dalam proses internalisasi nilai dalam diri manusia sejak usia dini, kontinyu, dan bertahap-tahap. Fase remaja jika kita lihat dari dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap yang progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa juvenilitas (adolescantium), pubertas, dan nubilitas.
Sejalan dengan perkembangan jasmanidan rohaninya, maka agama pada para remaja itu pun akan turut dipengaruhi perkembangan itu. Artinya, penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut. Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck ialah.
1.      Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah  tidak begitu menarik laki karena pada fase ini pola pikir remaja sudah bersifat abstrak (maknawi). Sifat kritis terhadap rasa agama mulai muncul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, politik dan norma-norma kehidupan lainnya.
2.      Perkembangan Perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis ini dapat mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat dengan ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Karena masa remaja merupakan perkembangan masa kematangan seksual. Hal ini didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.
3.      Pertimbangan Sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Karena dalam kehidupan mereka muncul konflik antara pertimbangan moral dan material. Dan alhasil remaja sangat binggung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi oleh kepentingan materi, maka banyak remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
4.      Perkembangan Moral
Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan berusaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat dalam pada para remaja juga mencakupi:
a.       Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
b.      Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
c.       Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
d.      Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
e.       Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanam moral masyarakat.
5.      Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja dalam masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecilnya serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
6.      Ibadah
a.       Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah do’a sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukan:
·         Seratus empat puluh delapan (148) siswi dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangkan sisanya (128) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 di antaranya secara alami (tidak melalui pengajaran resmi).
·         Tiga puluh satu (31) orang di antara yang mendapat pengalaman keagamaan melalui proses alami, mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menakjubkan dibalik keindahan alam yang mereka nikmati.
b.      Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut:
·         Empat puluh dua persen (42%) tidak pernah melaksanakan ibadah sama sekali.
·         Tiga pulu tiga (33%) mereka melakukan ibadah sembahyang karena mereka yakin Tuhan mendengar dam akan mengabulkan do’a mereka.
·         Dua puluh tujuh persen (27%)  bahwa sembahnyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan dan derita.
·         Delapan belas persen (18%) mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang setelah menunaikannya.
·         Sebelas persen (11%) mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.
·         Empat persen (4%) mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasan yang mengadung arti penting.
Jadi hanya 17% mengatakan bahwa ibadah sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi.[2]
B.     Karakteristik Agama Remaja
1.      Religius Awakening, yang mana minat beragama bagi para remaja mengalami kebangkitan.
2.      Individualistik, suatu sikap mementingkan diri sendiri.
3.      Sintesis, mengkorelasikan pada kontesktual atau kemampuan mengintegrasikan sesuatu.
4.      Maknawi, bersifat maknawi atau nilai-nilai inti dari sesuatu.
5.      Reflektif, melakukan sesuatu dengan apa yang telah diketahui.
6.      Agama dijadikan alat untuk menjawab persoalan pribadi.
7.      Agama dan kelompok sosial.
8.      Doubt, rasa ragu keagamaan.
9.      Conversi, perubahan rasa agama yang cepat.[3]
C.    Kesadaran Beragama Pada Fase Remaja
Jiwa remaja yang berada dalam masa transisi dari fase anak-anak menuju kedewasaan dan sebagai proses pencarian identitas diri, maka kesadaran beragama fase remaja berada pada fase peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Disamping keadaan jiwanya yang labil dan mengalami kegoncangan, daya pemikiran abstrak, logis dan kritik mulai berkembang dan muncul, motivasinya mulai otonom artinya timbul dari dalam diri sendiri dan tidak dikendalikan oleh dorongan biologis semata. Hal ini yang membuat keadaan jiwa remaja yang mudah goyah dan guncang, timbul kebimbangan, kegelisahan dan konflk batin (rohani). Selain itu juga remaja mulai menemukan pengalaman dan penghayatan ketuhanan yang bersifat individual dan sulit digambarkan kepada orang lain.
1.      Ciri-ciri Kesadaran Beragama Yang Menonjol Pada Masa Remaja Ialah[4]:

a.       Pengalaman Ketuhananannya Masih Bersifat Individual
Fase remaja makin mengenal dirinya karena pada fase ini remaja melakukan pencarian identitas diri. Ia menemukan “diri”nya bukan hanya sekedar badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa “pribadi”. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang menjadi milik pribadinya. Alam Penghayatan penemuan diri pribadi ini dinamakan “individuasi”, yaitu adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan bukan diri sendiri, antara akua dan bukan aku, antara subjeek dan dunia sekitar. Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya.
Dalam rasa kesendiriannya, si remaja memerlukan kawan setia atau pribadi yang mampu menampung keluhan-keluhannya dalam dirinya, melindungi, membimbing, mendorong, dan memberi petunjuk jalan yang dapat mengembangkan kepribadiannya. Pribadi yang demikian sempurna itu sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pencariannya mungkin mereka menemukan tokoh ideal, akan tetapi tokoh ideal ini pun tidak sempurna. Remaja dapat menemukan berbagai macam pandangan, ide, dan filsafat hidup yang mungkin bertentangan dengan keimanan yang telah menjadi bagian dari pribadinya. Hal ini dapat menimbulkan kebimbangan dan konflik batin yang merupakan suatu penderitaan baginya. Secara formal dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah labil. Ia sangat menderita dalam keadaan demikian, sehingga pada umumnya suasana jiwa dalam keadaan murung dan goncang.
Keadaan labil yang menekan menyebabkan mereka mencari ketentraman dan pegangan hidup. Hal itu yang menjadikan mereka berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup, pelindung, dan penunjuk jalan dalam kegoncangan psikologis yang dialaminya (conversi). Remaja menemukan semua yang dibutuhkan itu dalam keimanan kepada Tuhan. Bila mereka telah beriman kepada Tuhan berarti telah menemukan pegangan hidup dan sumber kesempurnaan yang dicarinya.
b.      Keimanannya Makin Menuju Realitas Yang Sebenarnya
Remaja mulai berintropeksi diri, mereka sibuk untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang dirinya, tentang keimanan, dan kehidupan agamanya (religius question). Remaja pun mulai mengerti bahwa kehidupan ini tidak hanya seperti yang dijumpainya secara konkret, tetapi mempunyai makna yang lebih dalam. Gambaran tentang dunia pada masa remaja menjadi lebih luas dan lebih besar, karena tidak saja meliputi realitas yang fisik, tetapi mulai melebar kedunia dalam yang psikis dan rohaniah. Mereka menghayati dan mengetahui tentang agama dan makna kehidupan beragama. Hal ini dapat menimbulkan usaha untuk menganalisis pandangan agamanya serta menilanya dalam perspektif yang lebih luas dan kritis, sehingga pandangan hidupnya lebih otonom. Dengan berkembangnya kemampuan berfikir secara abstrak, Remaja mampu pula menerima dan memahami ajaran agama yang berhubungan dengan masalah ghaib, abstrak dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, surga, neraka, malaikat, jin, iblis dan lainnya kemudian pemahaman itu meningkat bagaimana mengetahui tentang sifat-sifat Tuhan yang tadinya oleh remaja disenadakan dengan sifat-sifat manusia berubah menjadi lebih abstrak dan lebih mendalam.
c.       Peribadatan Mulai Disertai Penghayatan Yang Tulus
Agama adalah pengalaman dan penghayatan dunia dalam seseorang tentang ketuhanan disertai keimanan dan peribadatan yang di dalamnya terdapat aturan-aturan-Nya. Pengalaman dan penghayatan itu dapat merangsang dan mendorong individu terhadap hakikat pengalaman kesucian, penghayatan “kehadiran” Tuhan atau sesuatu yang dirasakannya supranatural dan di luar batas jangkauan akal dan kekuatan manusia. Keimanan akan timbul menyertai penghayatan ke-Tuhanan, sedangkan peribadatan yakni sikap dan tingkah laku keagamaan merupakan efek dari adanya penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan yang ada dalam dirinya (Religius conscience) Peribadatan merupakan bentuk realisasi keimanan. Ibadah dalam arti luas adalah seluruh kehendak, cita-cita, sikap dan tingkah laku manusia yang berdasarkan penghayatan ke-Tuhanan disertai dengan niat atau kesengajaan yang ikhlas karena dan demi Allah swt semata. Beribadah berarti melaksanakan semua perintah tuhan sesuai dengan kemampuan dan meninggalkan seluruh larangan-Nya dengan niat yang ikhlas. Unsur niat atau kesengajaan merupakan salah satu penentu berpahala tidaknya perbuatan dan tingkah laku sehari-hari.
D.    Konflik dan Keraguan
Dari sampel yang diambil W. Starbuck terhadap mahasiswa Middle burg College. Dari analisis dan penelitiannya W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu antara lain adalah faktor:
1.      Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin.
Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkemabangan lebih cepat menunjukan keraguan dari pada remaja pria.
2.      Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi dan aliran keagamaan yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. Pengaruh ini dapat menajdi penyebab timbulnya keraguan para remaja.
3.      Pernyataan Kebutuhan Manusia
Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curitosity (doronga ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal.
4.      Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.
5.      Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimiliknya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang terpelajar akan menjadi lebih kritis terhadap ajaran agamanya, terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka mempunyai kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya itu secara lebih rasioanal.[5]



E.     Implikasi Dalam Pendidikan Agama Islam
1.      Karakteristik Pelajaran Pendidikan Agama Islam.
Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan plajaran yang lain. Demikian halnya, mata pelajaran pendidikan agama Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:
§  Pendidikan agama Islam merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam agama Islam.
§  Dilihat dari segi muatanya, pendidikan agama Islam merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran yang lain yang betujuan untuk meningkatkan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Karena itulah semua pelajaran yang memiliki tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan yang ingin dicapai oleh Pendidikan Agama Islam (PAI).
§  Pendidikan agama Islam adalah mata pelajaran yang tidak hanya mengantarkan peserta didik dapat menguasai berbagai kajian keislaman, tetapi pendidikan agama Islam lebih menekankan bagaimana peserta didik mampu menguasai kajian keislaman tersebut sekaligus dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, pendidikan agama Islam tidak hanya menekankan aspek kognitif saja, tetapi lebih penting pada aspek afektif dan psikomotoriknya.
§  Secara umum mata pelajaran pendidikan agama Islam didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada dua sumber pkok Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan metode ijtihat para ulama mengembangkan prinsip-prinsip Pendidikan agama Islam tersebut dengan lebih rinci dan detail dalam bentuk fiqh dan hasil-hasil ijtihat lainya.
§  Prinsip-prinsip dasar pendidikan agama Islam tertuang dalam tiga kerangka dasar Islam, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Akidah merupakan penjabaran dari konsep iman, syariah merupakan menabaran dari konsep Islam, syariah mempunyai dua dimensi pokok, yaitu ibadah dan muamalah, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep Ihsan. Dan ketiga prinsip dasar itulah berkembang berbagai kajian keislaman.
§  Tujuan akhir dari mata pelajaran agama Islam di setiap jenjang pendidikan dirumuskan dalam berbagai redaksi, tetapi intinya adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia.
§  Karena itulah maka Pendidikan agama Islam mrupakan mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh setiap peserta didik, terutama yang beragama Islam, atau yang beragama lain yangdidasari dengan kesadaran yang tulu dalam mengikutinya.[6]
2.      Implikasi Dalam Pendidikan Agama Islam
Menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, beberapa hal dapat dilakukan terkait perkembangan remaja. Pertumbuhan fisik remaja yang sangat pesat seringkali menimbulkan gangguan regulasi, tingkah laku dan bahkan keterasingan dengan diri sendiri. Untuk itu perlu adanya kegiatan-kegiatan olah raga untuk menyalurkan energi lebih yang dimilikinya. Terkait dengan pengemangan aspek intelektual, kondisi psikologis yang perlu diciptakan dalam iklim pendidikan adalah:
1.      Menerima peserta didik remaja apa adanya tanpa syarat.
2.      Menciptakan suasana yang membuat peserta didik merasa tidak terlalu dinilai.
3.      Memahami kerangka berfikir peserta didik dan mampu menempatkan diri dalam dirinya.
4.      Menciptakan lingkungan keagaman dan spiritual yang baik dan sistematis.
Adapun untuk mengembangkan emosi remaja, intervensi edukatif yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan “self science currilumum”, yaitu: belajar mengembangkan diri, mengambil keputusan pribadi, mengelola perasaan, menangani stress, berempati, berkomunikasi, membuka diri, mengembangkan pemahaman, menerima diri sendiri, mengembangkan tanggung jawab pribadi, mengembangkan ketegasan, dinamika kelompok, dan menyelesaikan konflik.[7]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Rasa agama adalah cristal-cristal nilai agama dari dalam diri manusia sebagai produk dalam proses internalisasi nilai dalam diri manusia sejak usia dini, kontinyu, dan bertahap-tahap. Fase remaja jika kita lihat dari dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap yang progresif. Adapun beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck ialah:
·         Pertumbuhan Pikiran dan Mental.
·         Perkembangan Perasaan.
·         Pertimbangan Sosial.
·         Perkembangan Moral.
·         Sikap dan Minat.
·         Ibadah.
Karakteristik agama remaja antara lain, Religius Awakening, yang mana minat beragama bagi para remaja mengalami kebangkitan. Individualistik, suatu sikap mementingkan diri sendiri. Sintesis, mengkorelasikan pada kontesktual atau kemampuan mengintegrasikan sesuatu. Maknawi, bersifat maknawi atau nilai-nilai inti dari sesuatu. Reflektif, melakukan sesuatu dengan apa yang telah diketahui. Agama dijadikan alat untuk menjawab persoalan pribadi. Agama dan kelompok sosial. Doubt, rasa ragu keagamaan. Conversi, perubahan rasa agama yang cepat.
W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu antara lain adalah faktor:
§  Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin.
§  Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama.
§  Pernyataan Kebutuhan Manusia.
§  Kebiasaan.
§  Pendidikan.
Implikasi dalam pendidikan agama islam, Menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, beberapa hal dapat dilakukan terkait perkembangan remaja. Pertumbuhan fisik remaja yang sangat pesat seringkali menimbulkan gangguan regulasi, tingkah laku dan bahkan keterasingan dengan diri sendiri. Untuk itu perlu adanya kegiatan-kegiatan olah raga untuk menyalurkan energi lebih yang dimilikinya. Terkait dengan pengemangan aspek intelektual, kondisi psikologis yang perlu diciptakan dalam iklim pendidikan adalah:
ü  Menerima peserta didik remaja apa adanya tanpa syarat.
ü  Menciptakan suasana yang membuat peserta didik merasa tidak terlalu dinilai.
ü  Memahami kerangka berfikir peserta didik dan mampu menempatkan diri dalam dirinya.
ü  Menciptakan lingkungan keagaman dan spiritual yang baik dan sistematis.
Adapun untuk mengembangkan emosi remaja, intervensi edukatif yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan “self science currilumum”, yaitu: belajar mengembangkan diri, mengambil keputusan pribadi, mengelola perasaan, menangani stress, berempati, berkomunikasi, membuka diri, mengembangkan pemahaman, menerima diri sendiri, mengembangkan tanggung jawab pribadi, mengembangkan ketegasan, dinamika kelompok, dan menyelesaikan konflik.

DAFTAR PUSTAKA
·         Dra. Wiji Hidayat, M.Ag dan Sri Purnami, S.Psi, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: TERAS, 2008.
·         Ichsan, 2007.”Prinsip Pembelajaran Tuntas mata pelajaran PAI”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.IV,No. 1, 2007, Yogyakarta: Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
·         Abdul aziz ahyadi. Drs, psikologi agama (kepribadian muslim pancasila), Bandung: Sinar baru Algesindo, 2005.
·         Prof. Dr. H. Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2010.


[1] Susilaningsih, Makalah Dinamika Perkembangan Rasa Keagamaan Pada Usia Remaja, Yogyakarta, 1996, hal. 1
[2] Prof. Dr. H. Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, Cet. Ke-13, 2010). Hlm. 74-77.
[3] Hasil perkuliahan Psikologi Agama oleh Ibu Susilaningsih di jurusan Pendidikan Agama Islam.
[4] Abdul aziz ahyadi. Drs, psikologi agama (kepribadian muslim pancasila), (Bandung: Sinar baru Algesindo, cet V 2005), hlm 44.
[5] Prof. Dr. Jalaludin, Ibid, hlm. 78-79
[6]Ichsan, 2007.”Prinsip Pembelajaran Tuntas mata pelajaran PAI”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.IV,No. 1, 2007, Yogyakarta: Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.  hal. 42-42

[7] Dra. Wiji Hidayat, M.Ag dan Sri Purnami, S.Psi, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: TERAS, 2008). Hlm. 147-148.

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host