Wednesday, November 2, 2011

SYIRKAH DALAM ISLAM


Oleh: Ahmad Taib
BAB I
PENDAHULUAN
         Menurut pandangan umum manusia disebut sebagai makhluk social yang mana berarti bahwa setiap manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa bantuan dari orang lain sehingga dibutuhkan suatu tindakan interaksi dengan manusia yang lain dalam bentuk hubungan timbal balik sehingga suatu bentuk kehidupan akan berjalan dengan baik. Sedangkan menurut pandangan islam, hubungan antar sesama makhluk disebut hablum minan naas, oleh karena membutuhkan bantuan orang lain maka dibutuhkan suatu tindakan yang disebut muammalah, karena muammalah terbagi menjadi beberapa macam, maka makalah ini menghususkan pada bab syirkah atau perkongsian, dikarenakan banyak sekali praktek perkongsian disekitar kita sehingga perlu untuk dipelajari.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Macam Syirkah
       Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau temannya.[1] Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti campur.[2]  Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).[3] Adapun syirkah secara hukum syara’ adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.[4]

B.     Hukum dan Macam Syirkah
            Syirkah hukumnya jâ'iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw.    bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:                                                              .               

قا ل الله تعا ل انا ثا لث الشريكين ما لم يخن احد هما صا حبه فاذا خا نه خرجتت من بينهما (رواه  ابو داود والحا كم)
 

artinya: :
Allah SWT. Berfirman,”aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang menghianatinya.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya).
        Berdasarkan kajian terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah man; (2) syirkah inân (3) syirkah abdan; ; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah. semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya.      
a.      Syirkah man
            Syirkah man adalah dua orang berkongsi dalam suatu urusan tertentu, tidak di dalam semua harta mereka, misalnya bersekutu dalam dalam membeli suatu barang. Hal demikian hukumnya boleh.[5]
b.      syirkah inân
            syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi kontribusi kerja ('amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah dan Ijma Sahabat. Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, syirkah ini syah dengan syarat modal keduanya satu macam, lalu dijadikan satu sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana barang seseorang dan mana milik yang lain. Adapun kalau modal mereka sama tetapi salah seorang diantara mereka mensyarakatkan supaya memperoleh lebih banyak laba , maka syirkah menjadi batal. Berbeda dengan pendapat Imanm Hanafi, syirkah demikian adalah syah, meskipun yang mensyaratkan itu baru dalam masalah perniagaan serta lebih banyak.[6]Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi‘, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).[7]
c.       syirkah abdan
            Syirkah 'abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja ('amal), tanpa konstribusi modal (mâl)  yang hasilnnya mereka bagi sama rata. Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Hukumnya adalah sah menurut Mazhab Maliki  dengan syarat mereka harus berserikat dalam satu pekerjaan dan disatu tempat. Menurut Mazhab Hanafi boleh saja meskipun pekerjaan berbeda pekerjaan dan tempatnya. Mazhab Hambali membolehkan dalam segala hal. Adapun pendapat Madzhab Syafi’i: Syirkah abdan adalah batal.[8] 
d.      syirkah wujûh
            syirkah wujuh adalah berserikat dua orang terkemuka atau lebih untuk membeli suatu barang perniagaan dengan harta yang ditangguhkan untuk mereka jual lagi dan keuntungannya dibagi di antara mereka. Hukumnya adalah syah. Dengan syarat tidak ada modal, dan salah seorang diantara mereka mengatakan kepada yang lain “kami berserikat atas barang yang dibeli oleh salah seorang kita dalam suatu tanggungn bersama. Contohnya,
e.       syirkah mufâwadhah
            menurut pendapat Mazhab Hanafi syirkah mufawadhah ialah dua orang berserikat pada suatu usaha yang mereka miliki, seperti emas dan mata uang, dan harus bersamaan modalnya. Oleh karena itu, menurutnya jika modalnya tidak sama perkongsian menjadi tidak sah. Setiap keuntungan yang diperoleh salah seorang diantara mereka menjadi milik mereka berdua, dan setiap hal yang dijaminkan oleh salah seorang diantara mereka dari harta rampasan atau lainnya menjadi penjamin dari yang lain.
            Madzhab Maliki berpendapat: dalam syirkah muafadhah boleh tidak sama besar modalnya, dan keuntungan dibagi meneurut perbandingan persentase masing-masing modal yang ditanam. Masing-masing menjadi penjamin terhadap yang lain, tetapi tidak dalam masalah rampasan. Tidak ada perbedaan antara modal yang ditanam baik berupa barang maupun uang. Juga tidak dibedakan antara menjadikan perkongsian tersebut semua harta yang dimiliki atau sebagiannya saja untuk usaha, serta sama saja antara harta mereka apakah dicampur menjadi satu sehingga tidak dapat dibedakan atau dapat dibedakan sesudah dicampur menijadi satu, dan kekuasaan berada pada keduanya. Menurut pendapat Hanafi Syirkah hukumnya tetap sah meskipun harta masing-masing perkongsian berada di tangannya dan tidak dikumpulkan.
            Adapun  pendapat madzha Syafi’i dan Hambali bahwa syirkah demikian tidak sah. Menurut mazhab Syafi’i: dan tidak ada perkongsian muafadhah (hukumnya batal).[9]
              Dari berbagai pendapat status hukum tentang macam syirkah diatas dapat diperinci menjadi  berikut:

Pendapat ulama
Syirkah Man
Syirkah Abdan
Syirkah Wujuh
Syirkah ‘Inan
Syirkah Muafadhah
Keterangan
Mazhab Maliki
Boleh
Boleh*
Batal
Boleh**



Boleh
*dalam satu tempat dan pekerjaan.**modal satu macam, dicampur dan keuntunganya sama rata.
Mazhab Hanafi
Boleh
boleh
Boleh
boleh
Boleh*
*Harus sama modalnya
Mazhab Syafi’i
Boleh
Batal
Batal
Boleh*
Batal
*modal satu macam,    dicampur    dan keuntunganya sama rata.
Mazhab Hambali
Boleh
Boleh*
Boleh
boleh
Batal
* dalam satu tempat dan pekerjaan

C.      Rukun dan Syarat Sirkah
Rukun serikat
·         Ada sighotnya (lafadz akad)
·         Ada orang yang berserikat
·         Ada pokok pekejaannya
Syarat lafadz
Kalimat akad hendaklah mengandung arti izin buat menjalankan barang perserikatan. Umpamanya salah seorang diantara keduanya berkata: “kita berserikat pada barang ini, dan saya izinkan engkau menjalankannya dengan jalan jual beli dan lain-lain” jawab yang lainnya, “ saya seperti yang engkau katakana itu”.
Syarat menjadi anggota perserikatan
a)      Berakal
b)      Baligh
c)      Merdeka
Syarat modal perkongsian
a)      Modal hendaknya berupa uang ( emas atau perak) atau barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Misalnya beras, gula dll
b)      Dua barang itu hendaknya dicampurkan sebbelum akad sehingga antara kedua barang tidak dapat dibedakan lagi.[10]

BABA III
KESIMPULAN
       Secara etimologis syirkah berarti campur. Adapun syirkah secara hukum syara’ adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Syirkah hukumnya jâ'iz (mubah)
            Berdasarkan kajian terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah man; (2) syirkah inân (3) syirkah abdan; ; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah. Dalam macam syirkah diatas terdapat persamaan dan perbedaan pendapat dalam memberikan status hukum. Rukun serikat ada 3:
·           sighot (lafadz akad)
·         orang yang berserikat
·         pokok pekejaannya
sedangkan syarat syirkah masih dibagi menjadi tiga yaitu:  syarat  lafadz, syarat menjadi anggota, dan syarat  modal perkongsian.
Syarat lafadz
Kalimat akad hendaklah mengandung arti izin buat menjalankan barang perserikatan.
Syarat menjadi anggota perserikatan
·      Berakal
·       Baligh
·      Merdeka

Syarat modal perkongsian
·      Modal hendaknya berupa uang ( emas atau perak) atau barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Misalnya beras, gula dll
·         Dua barang itu hendaknya dicampurkan sebelum akad sehingga antara kedua barang tidak dapat dibedakan lagi.

DAFTAR PUSTAKA
-          Al-Mazhab As-Safi’i, 1983, Al-Umm (Kitab Induk), CV Faizan, Semarang.
-          Syaikh Al-‘Alamah Muhammad Bin ‘Abdurrahman Ad-Damasyqi, 2010, Fiqih Empat Mazhab, HASYIMI Press, Bandung.
-         Taqiyuddin An-Nabhani, 1990,  An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm Cetakan IV, Darul Ummah, Beirut.
-         Ahmad Warson Munawwir,1997,  Al-Munawwir,  Pustaka Grafindo, Surabaya.
-          Rifai Moh dkk, 1978, Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, Toha Putra, Semarang.
-          Sulaiman Rasjid, 1995, Fiqh Islam (Hukum Fiqh lengkap), PT Baru Algesindo, Bandung.



[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Grafindo, 1997),  hlm.  715
[2] Moh. Rifa’i dkk, Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978), hlm. 209
[3] Taqiyuddin An-Nabhani,.. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV.( Beirut: Darul Ummah. 1990), hlm. 58
[4] Ibid,...hlm. 146
[5] Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimassyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: HASYIMI Press, 2011) hlm. 266
[6] Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimassyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: HASYIMI Press, 2011) hlm. 267
[7] Ibid,...hlm, 151
[8] Ibid,.. Fiqih, hlm. 267
[9] Al-Mazhab As-Syafi’i RA, Al-Umm, terjemahan Ismail Yakub, (semarang:  CV Faizan, 1983), hlm. 307
[10] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh lengkap), (Bandung: PT Baru Algesindo, 1995),hlm. 296

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host