Oleh: Ahmad Taib
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut pandangan umum
manusia disebut sebagai makhluk social yang mana berarti bahwa setiap manusia
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa bantuan dari orang lain sehingga
dibutuhkan suatu tindakan interaksi dengan manusia yang lain dalam bentuk
hubungan timbal balik sehingga suatu bentuk kehidupan akan berjalan dengan
baik. Sedangkan menurut pandangan islam, hubungan antar sesama makhluk disebut
hablum minan naas, oleh karena membutuhkan bantuan orang lain maka dibutuhkan
suatu tindakan yang disebut muammalah, karena muammalah terbagi menjadi
beberapa macam, maka makalah ini menghususkan pada bab syirkah atau
perkongsian, dikarenakan banyak sekali praktek perkongsian disekitar kita
sehingga perlu untuk dipelajari.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Macam Syirkah
Kata
syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku
(fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya
menjadi sekutu atau temannya.[1]
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis),
syirkah berarti campur.[2] Kata dasarnya boleh dibaca
syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam
Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).[3] Adapun syirkah secara hukum syara’ adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan
suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.[4]
B.
Hukum dan Macam Syirkah
Syirkah
hukumnya jâ'iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi,
orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi
saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda,
sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
.
قا ل الله تعا ل انا ثا لث الشريكين ما لم يخن
احد هما صا حبه فاذا خا نه خرجتت من بينهما (رواه
ابو داود والحا كم)
artinya: :
Allah SWT. Berfirman,”aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang menghianatinya.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya).
Berdasarkan kajian terhadap
berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam
Islam: yaitu: (1) syirkah man;
(2) syirkah inân (3) syirkah abdan; ; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah
mufâwadhah. semua itu adalah syirkah yang
dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya.
a. Syirkah man
Syirkah man adalah dua
orang berkongsi dalam suatu urusan tertentu, tidak di dalam semua harta mereka,
misalnya bersekutu dalam dalam membeli suatu barang. Hal demikian hukumnya
boleh.[5]
b. syirkah inân
syirkah
antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi kontribusi kerja ('amal)
dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah dan
Ijma Sahabat. Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B
sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah.
Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya
sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, syirkah ini syah dengan syarat modal keduanya satu macam, lalu dijadikan satu sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana barang seseorang dan mana milik yang lain. Adapun kalau modal mereka sama tetapi salah seorang diantara mereka mensyarakatkan supaya memperoleh lebih banyak laba , maka syirkah menjadi batal. Berbeda dengan pendapat Imanm Hanafi, syirkah demikian adalah syah, meskipun yang mensyaratkan itu baru dalam masalah perniagaan serta lebih banyak.[6]Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi‘, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).[7]
menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, syirkah ini syah dengan syarat modal keduanya satu macam, lalu dijadikan satu sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana barang seseorang dan mana milik yang lain. Adapun kalau modal mereka sama tetapi salah seorang diantara mereka mensyarakatkan supaya memperoleh lebih banyak laba , maka syirkah menjadi batal. Berbeda dengan pendapat Imanm Hanafi, syirkah demikian adalah syah, meskipun yang mensyaratkan itu baru dalam masalah perniagaan serta lebih banyak.[6]Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi‘, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).[7]
c. syirkah abdan
Syirkah
'abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja ('amal), tanpa konstribusi modal (mâl) yang hasilnnya
mereka bagi sama rata. Konstribusi kerja itu
dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun
kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu,
nelayan, dan sebagainya). Hukumnya
adalah sah menurut Mazhab Maliki dengan
syarat mereka harus berserikat dalam satu pekerjaan dan disatu tempat. Menurut Mazhab
Hanafi boleh saja meskipun pekerjaan berbeda pekerjaan dan tempatnya. Mazhab
Hambali membolehkan dalam segala hal. Adapun pendapat Madzhab Syafi’i: Syirkah
abdan adalah batal.[8]
d. syirkah wujûh
syirkah wujuh adalah
berserikat dua orang terkemuka atau lebih untuk membeli suatu barang perniagaan
dengan harta yang ditangguhkan untuk mereka jual lagi dan keuntungannya dibagi
di antara mereka. Hukumnya adalah syah. Dengan syarat tidak ada modal, dan
salah seorang diantara mereka mengatakan kepada yang lain “kami berserikat atas
barang yang dibeli oleh salah seorang kita dalam suatu tanggungn bersama.
Contohnya,
e. syirkah mufâwadhah
menurut pendapat Mazhab Hanafi syirkah mufawadhah ialah
dua orang berserikat pada suatu usaha yang mereka miliki, seperti emas dan mata uang, dan harus bersamaan modalnya. Oleh karena itu, menurutnya jika modalnya
tidak sama perkongsian menjadi tidak sah. Setiap keuntungan yang diperoleh
salah seorang diantara mereka menjadi milik mereka berdua, dan setiap hal yang
dijaminkan oleh salah seorang diantara mereka dari harta rampasan atau lainnya
menjadi penjamin dari yang lain.
Madzhab Maliki
berpendapat: dalam syirkah muafadhah boleh tidak sama besar modalnya, dan
keuntungan dibagi meneurut perbandingan persentase masing-masing modal yang
ditanam. Masing-masing menjadi penjamin terhadap yang lain, tetapi tidak dalam
masalah rampasan. Tidak ada perbedaan antara modal yang ditanam baik berupa
barang maupun uang. Juga tidak dibedakan antara menjadikan perkongsian tersebut
semua harta yang dimiliki atau sebagiannya saja untuk usaha, serta sama saja
antara harta mereka apakah dicampur menjadi satu sehingga tidak dapat dibedakan
atau dapat dibedakan sesudah dicampur menijadi satu, dan kekuasaan berada pada
keduanya. Menurut pendapat Hanafi Syirkah hukumnya tetap sah meskipun harta
masing-masing perkongsian berada di tangannya dan tidak dikumpulkan.
Adapun pendapat madzha Syafi’i dan Hambali bahwa
syirkah demikian tidak sah. Menurut mazhab Syafi’i: dan tidak ada perkongsian
muafadhah (hukumnya batal).[9]
Dari berbagai pendapat status
hukum tentang macam syirkah diatas dapat diperinci menjadi berikut:
Pendapat ulama
|
Syirkah Man
|
Syirkah Abdan
|
Syirkah Wujuh
|
Syirkah ‘Inan
|
Syirkah Muafadhah
|
Keterangan
|
Mazhab Maliki
|
Boleh
|
Boleh*
|
Batal
|
Boleh**
|
Boleh
|
*dalam satu tempat dan pekerjaan.**modal satu macam, dicampur dan
keuntunganya sama rata.
|
Mazhab Hanafi
|
Boleh
|
boleh
|
Boleh
|
boleh
|
Boleh*
|
*Harus sama modalnya
|
Mazhab Syafi’i
|
Boleh
|
Batal
|
Batal
|
Boleh*
|
Batal
|
*modal satu macam, dicampur dan keuntunganya sama rata.
|
Mazhab Hambali
|
Boleh
|
Boleh*
|
Boleh
|
boleh
|
Batal
|
* dalam satu tempat dan pekerjaan
|
C.
Rukun dan Syarat Sirkah
Rukun serikat
·
Ada sighotnya (lafadz akad)
·
Ada orang yang berserikat
·
Ada pokok pekejaannya
Syarat lafadz
Kalimat akad hendaklah mengandung arti izin buat menjalankan barang
perserikatan. Umpamanya salah seorang diantara keduanya berkata: “kita
berserikat pada barang ini, dan saya izinkan engkau menjalankannya dengan jalan
jual beli dan lain-lain” jawab yang lainnya, “ saya seperti yang engkau
katakana itu”.
Syarat menjadi anggota perserikatan
a)
Berakal
b)
Baligh
c)
Merdeka
Syarat modal perkongsian
a)
Modal hendaknya berupa uang ( emas
atau perak) atau barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Misalnya beras, gula
dll
b)
Dua barang itu hendaknya
dicampurkan sebbelum akad sehingga antara kedua barang tidak dapat dibedakan
lagi.[10]
BABA III
KESIMPULAN
Secara etimologis syirkah
berarti campur. Adapun syirkah secara
hukum syara’ adalah suatu akad antara
dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan. Syirkah hukumnya jâ'iz (mubah)
Berdasarkan
kajian terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam
syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah man; (2) syirkah inân (3) syirkah
abdan; ; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah. Dalam macam syirkah
diatas terdapat persamaan dan perbedaan pendapat dalam memberikan status hukum.
Rukun serikat ada 3:
·
sighot (lafadz akad)
·
orang yang berserikat
·
pokok pekejaannya
sedangkan syarat syirkah masih dibagi menjadi tiga yaitu: syarat
lafadz, syarat menjadi anggota, dan syarat modal perkongsian.
Syarat lafadz
Kalimat akad hendaklah mengandung arti izin buat menjalankan barang
perserikatan.
Syarat menjadi anggota perserikatan
·
Berakal
·
Baligh
·
Merdeka
Syarat modal perkongsian
·
Modal hendaknya berupa uang ( emas
atau perak) atau barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Misalnya beras, gula
dll
·
Dua barang itu hendaknya
dicampurkan sebelum akad sehingga antara kedua barang tidak dapat dibedakan
lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Al-Mazhab As-Safi’i, 1983, Al-Umm (Kitab
Induk), CV Faizan, Semarang.
-
Syaikh Al-‘Alamah Muhammad Bin ‘Abdurrahman Ad-Damasyqi, 2010, Fiqih Empat Mazhab, HASYIMI Press,
Bandung.
-
Taqiyuddin An-Nabhani, 1990, An-Nizhâm
al-Iqtishâdî fî al-Islâm Cetakan
IV, Darul Ummah, Beirut.
-
Ahmad
Warson Munawwir,1997, Al-Munawwir, Pustaka Grafindo, Surabaya.
-
Rifai Moh dkk, 1978, Terjamah
Khulashah Kifayatul Akhyar, Toha Putra, Semarang.
-
Sulaiman Rasjid, 1995, Fiqh Islam (Hukum Fiqh lengkap), PT Baru
Algesindo, Bandung.
[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka
Grafindo, 1997), hlm. 715
[2] Moh. Rifa’i dkk, Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang:
Toha Putra, 1978), hlm. 209
[3] Taqiyuddin
An-Nabhani,.. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV.( Beirut: Darul Ummah.
1990), hlm. 58
[4] Ibid,...hlm. 146
[5] Syaikh Muhammad bin
‘Abdurrahman ad-Dimassyqi, Fiqih Empat
Mazhab, (Bandung: HASYIMI Press, 2011) hlm. 266
[6] Syaikh Muhammad bin
‘Abdurrahman ad-Dimassyqi, Fiqih Empat
Mazhab, (Bandung: HASYIMI Press, 2011) hlm. 267
[7] Ibid,...hlm, 151
[8] Ibid,.. Fiqih, hlm. 267
[9] Al-Mazhab As-Syafi’i RA, Al-Umm, terjemahan Ismail Yakub,
(semarang: CV Faizan, 1983), hlm. 307
0 komentar:
Post a Comment