Wednesday, November 30, 2011

MEDIA VIDEO DAN FILM


Oleh: Almas Akbar dkk
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang sangat penting adalah metode mengajar dan media pembelajaran.[1] Dalam pelaksanaannya kedua hal ini saling berkaitan satu sama lain.
Media pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang interaktif adalah video diantaranya adalah video dan rekaman.
Kemampuan teknologi elektronika semakin besar. Bentuk informasi grafis, video, animasi, diagram, suara dan lain-lain dengan mudah dapat dihasilkan dengan mutu yang cukup baik. Misalnya video kamera berfungsi merekam video yang diinginkan untuk kemudian ditransfer dan digabungkan dengan animasi, grafik dan teks yang dihasilkan oleh komputer. Teks, grafik, animasi, video sudah banyak tersedia dalam compact disk. Misalnya Encyclopedia Americana sudah direkam di dalam komputer disk, yang mana apabila ditampilkan di komputer melalui CD Drive komputer itu maka informasi yang ada dalam disk baik berupa teks, gambar, grafik, dll dapat diakses dan dipindahkan untuk digabung dengan informasi lainnya.[2]

BAB II
PEMBAHASAN
Video dan Film
A.      Pengertian
Video merupakan Secara empiris kata video berasal dari sebuah singkatan yang dalam bahasa inggris yaitu visual dan audio. Kata Vi adalah singkatan dari Visual yang berarti gambar, kemudian pada kata Deo adalah singkatan dari Audio yang berarti suara. Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan pemahaman bahwa VIDEO adalah seperangkat komponen atau media yang mampu menampilkan gambar sekaligus suara dalam waktu bersamaan. Pada dasarnya hakekat video adalah mengubah suatu ide atau gagasan menjadi sebuah tayangan gambar dan suara.[3]
Jenis-jenis video:
a.    AVI ( Audio Video Interleaved ) Avi adalah format video yang paling populer, karna kwalitas gambar yang di berikan sangat baik.
b.    MPEG MPEG adalah format kompresi yang distandarisasi oleh moving picture experts group yang terbentuk oleh 350 perusahaan dan organisasi.
c.     3GP ( 3GPP Format File ) 3Gp adalah sebuah multimedia container format yang ditetapkan oleh Third Generation Partnership Project untuk 3G UMTS jasa multimedia. Yang digunakan di 3G ponsel, tetapi juga dapat dimainkan pada beberapa 2G dan 4G.
d.    FLV ( Flash Video ) FLV adalah sebuah wadah format file yang digunakan untuk mengirimkan video melalui internet mengunakan Adobe Flash Player.[4] Dan masih banyak lagi jenis format video yang lainnya.
Film merupakan media komunikasi sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indera, penglihatan dan pendengaran, yang mempunyai inti atau tema sebuah cerita yang banyak mengungkap realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat di mana film itu sendiri tumbuh.[5]
Jenis – jenis Film:
Menurut Yudhi Munadi jenis – jenis film untuk konteks pembelajaran diantaranya adalah sebagai berikut:
a.      Film Dokumenter
Menurut Heinich dkk. (1985: 212) film dokumenter adalah film yang dibuat berdasarkan fakta bukan fiksi dan bukan pula memfiksikan yang fakta. Pola penting dalam film ini menurutnya, adalah menggambarkan permasalahan kehidupan manusia meliputi bidang ekonomi, budaya, hubungan antar manusia, etika dan lain sebagainya. Film dokumenter juga bisa menampilkan rekaman penting dari sejarah manusia. Misalnya, film tentang dampak globalisasi terhadap sosial budaya di suatu daerah atau negara, film tentang sejarah kemerdekaan Indonesia.
b.      Docudrama
Docudrama yaitu film dokumenter yang membutuhkan pengadegan. Kisah – kisah yang ada dalam docudrama adalah kisah yang diangkat dari kisah nyata dari kehidupannyata, bisa diambil dari sejarah. Misalnya, kisah teladan para Nabi dan Rasul.
c.       Film Drama atau Semidrama
Film drama atau semidrama keduanya melukiskan human relation. Tema-temanya bisa dari kisah nyata dan bisa juga tidak dari kisah nyata, yakni dari nilai-nilai kehidupan yang kemudian diramu menjadi sebuah cerita. Misalnya tentang penyesalan orang kafir, dihukum karena pelit, dan sebagainya.

Petunjuk untuk memproduksi film atau video:
1.         Media ini didesain guna memperlihatkan gerak, bukan memperlihatkan gambar diam
2.         Film atau video sangat untuk tujuan afekif yaitu untuk mempengaruhi siswa dalam mengubah sifat
3.         Suara yang mengiringi gambar harus sesuai dengan isi gambar
4.         Narasi tidak boleh menceritakan apa yang ada dalam gambar kecuali untuk mempresentasikan atau memperjelas
5.         Gambar yang disajikan hendaklah bervariasi  dan diambil dari sudut pengambilan yang berbeda agar siswa tidak merasa bosan.
6.         Semua media film harus mengandung unsur yang sudah dibakukan, serta harus diuji dan disunting sebelum dipergunakan dalam kegiatan pembelajaran.
B.       Tujuan pemakaian media video dalam pembelajran
1.      Tujuan kognitif
a.         Mengajarkan pengenalan kembali tau perbedaan stimulasi gerak yang relevan, seperti kecepatan objek yang bergerak, penyimpangan dalam gerak dan sebagainya.
b.        Mengajarkan aturan dan prinsip.
c.         Memperlihatkan contoh model penampilan, terutama pada situasi yang menunjukkan interaksi manusia
2.      Tujuan psikomotor
Film digunakan untuk memperlihatkan contoh keterampilan gerak. Film juga dapat memberikan umpan balik kepada siswa secara  visual untuk menunjukkan tingkay kemampuan siswa dalam mengerjakan keterampilan  gerak setelah beberapa waktu kemudian.[6]
3.      Tujuan afektif
Film paling sesuai ketika digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perilaku yakni menggunakan beberapa cara dan efek.
C.      Kelebihan & Kekurangan Video & Rekaman Sebagai Media Pembelajaran
1.      Kelebihan
a.    Dapat menyajikan tiruan visual yang bergerak untuk memperagakan rangsangan atau respon yang serasi.
b.    Dapat membuat efek visual khusus yang mungkin dapat memperkuat proses belajar.
c.    Film dapat digunakan dalam kelompok besar dan kelompok kecil atau untuk dilihat sendiri
d.   Film dapat digunakan dengan proyeksi dari depan dan dari belakang
e.    Isi dan urutan materi pembelajaran sudah terpadu dan dapat digunakan secara interaktif dengan buku tugas, atau buku petunjuk belajar
f.     Ukuran film sudah terstandarisasi yang memungkinkan digunakan diman-mana.
g.    Kualitas gambar yang ditransfer dari film ke video lebih baik daripada video ke film.
h.    Film lebih realistis, dapat diulang-ulang, dihentikan, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan. Hal-hal yang abstrak menjadi jelas.
i.      Film dapat merangsang atau memotivasi kegiatan anak-anak.
j.      Film merupakan suatu denominator belajar yang umum. Baik anak yang cerdas maupun yang lamban akan memperoleh sesuatu dari film yang sama. Keterampilan membaca atau penguasaan bahasa yang kurang dapat diatasi dengan film.[7]

2.      Kekurangan Video
a.       Biaya produksi film masih tergolong tinggi
b.      Memproses film membutuhkan waktu sehingga tidak dapat diperoleh umpan balik langsung
c.       Film yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan belajar yang diinginkan, kecuali film itu dirancang dan diproduksi khusus untuk kebutuhan sendiri.
d.      Pada saat film dipertunjukkan, gambar-gambar bergerak terus sehingga tidak semua siswa mampu mengikuti informasi yang ingin disampaikan melalui film tersebut.
D.      Kriteria evaluasi program media Video adalah sebagai berikut:
a.    Materi (content)
-       Ketepatan/ keakuratan materi
-       Kedalaman dan keluasan materi
-       Kesesuaian materi dengan kurikulum
-       Kesesuaian visual dengan materi
-       Kecukupan (sufficiency) materi
-       Kejelasan uraian materi dan pemberian contoh
-       Kemutakhiran
b.    Desain Pembelajaran
-       Kesesuaian pendekatan (pemberitahuan tujuan/kompetensi, apersepsi, ketepatan segmentasi, dan pemberian kesimpulan
-       Urutan penyajian (sequence)
-       Efektifitas dan efisiensi pencapaian kompetensi
-       Kesesuaian dengan karakteristik sasaran (audience)
-       Kesesuaian evaluasi dengan indikator & kompetensi
c.    Aspek Media
-       Daya tarik teaser/ opening
-       Keterbacaan  & manfaat caption
-       Kesesuaian visual
-       Ketajaman gambar
-       Evaluasi mendukung penguasaan materi
-       Musik (warna, penempatan, kesesuaian , manfaat)
-       Kejelasan narasi (intonasi, dialek, pengucapan)
-       Ketajaman gambar
-       Kejernihan suara
d.   Aspek Teknis
-       Penyutradaraan/ directing (angle camera, screen direction, komposisi)
-       Artistik (setting, props, costum)
-       Ketepatan penyuntingan gambar dengan penyajian materi (kontinuitif, transisi dari segi visual dan audio)[8]
Dalam menilai baik tidaknya sebuah film, Omar Hamalik mengemukakan bahwa film yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)   Dapat menarik minat siswa
2)   Up to date dalam setting, pakaian, dan lingkungan
3)   Sesuai dengan tingkatan kematangan audiens
4)   Perbendaharaan bahasa yang dipergunakan secara benar
5)   Kesatuan dan sequence-nya cukup teratur
6)   Teknis yang dipergunakan cukup memenuhi persyaratan dan cukup memuaskan.[9]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
VIDEO adalah seperangkat komponen atau media yang mampu menampilkan gambar sekaligus suara dalam waktu bersamaan. Pada dasarnya hakekat video adalah mengubah suatu ide atau gagasan menjadi sebuah tayangan gambar dan suara. Adapun jenis-jenis video yaitu MPEG, AVI, 3GP, FLV dll. Sedangkan Film merupakan media komunikasi sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indera, penglihatan dan pendengaran, yang mempunyai inti atau tema sebuah cerita yang banyak mengungkap realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat di mana film itu sendiri tumbuh. Dan jenis-jenis film meliputi Film documenter, docudramadan film drama atau semi drama. Dan sebagaimana dengan media-media pembelajaran lainnya, medio video dan rekaman ini pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya meliputi
Tujuan dari emakaian media video dalam pembelajaran mencangkup beberapa hal, yakni dari segi kognitif, psikomotor dan afektif. Dan criteria evaluasi program media video perlu memerhatikan beberapa aspek, yaitu aspek materi, aspek pembelajaran, aspek media, aspek teknis.
Dan film yang menarik adalah film yang dapat menarik minat siswa, up to date, sesuai dengan tingkat kematangan peserta didik dengan pembeharaan bahasa yang baik dan benar serta runtut.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Ronald H.1987. Pemilihan dan Pengembangan Media Untuk Pembelajaran. Jakarta: Rajawali. 1987
Arief S. Sadiman, dkk. 2009. Media pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali.
Arsyad Ashar.2010. Media Pembelajaran. Jakarta : Rajawali Pers.
Bambang warsita. 2008. Teknologi pembelajaran (landasan dan aplikasinya). Jakarta : Rineka Cipta
Munadi, Yudi.  2008. Media pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru. Ciputat: Gaung Persada.
definisifilm.com
definisivideo.com
delvia.blogspot.com


[1] Azhar Arsyad. Media Pembelajaran. 2010. Jakarta : Rajawali Pers. 15
[2] Ibid. 172
[3] definisivideo.com
[4] delvia.blogspot.com
[5] http//:definisifilm.com
[6] Anderson, Ronald H. Pemilihan dan Pengembangan Media Untuk Pembelajaran. Jakarta: Rajawali. 1987 hal 117
[7] Arief S. Sadiman, dkk. Media pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali. 2009. Hal 68

[8] Bambang warsita. Teknologi pembelajaran (landasan dan aplikasinya). 2008. Jakarta : Rineka Cipta

[9] Munadi, Yudi. Media pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru. Ciputat: Gaung Persada. 2008. Hal. 117

Tuesday, November 22, 2011

PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN


Oleh: Almas J Akbar dkk.
BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
 Dalam arus globalisasi dimana masyarakat bersifat dinamis, pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut, Untuk itu pendidikan merupakan usaha untuk melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi selanjutnya. Begitu juga bagi umat Islam, pendidikan merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, mengalihkan, menanamkan dan menstransformasikan nilai-nilai Islam kepada generasi penerus sehingga nilai-nilai cultural-religious yang dicita-citakan tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu.
Dilihat dari segi kehidupan kultural umat manusia tidak lain adalah merupakan salah satu alat pembudayaan masyarakat itu sendiri. Pendidikan Islam mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia kepada titik optimal kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat.
Maka, untuk memperoleh gambaran tentang pola berfikir dan berbuat dalam pelaksanaan pendidikan Islam pada khususunya, diperlukan kerangka berpikir teoritis yang mengandung konsep tentang pendidikan-pendidikan Islam, disamping konsep-konsep operasionalnya dalam masyarakat. Dalam pemikirannya tentang pendidikan Islam, Al-Ghazali mengemukakan tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas tentang pemikiran Al-Ghzali terhadap pendidikan Islam.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Al-Ghazali?
2.      Bagaimana Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali?

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali atau lebih dikenal dengan panggilan Al-Ghazali lahir di Thusia, sebuah Kota Khurasan, Persia yang sekarang dikenal berada di dekat kota Meshed Iran pada tahun 450H/ 1058M pada masa dinasti Seljuk yang baru saja memantapkan kedudukannya di Baghdad. Ayahnya yang seorang penenun wol seorang yang tergolong miskin. Namun demikian ia memikirkan pendidikan anaknya sehingga mampu menyisihkan sejumlah uang untuk pendidikan putranya. Menjelang wafat, ayah Al-Ghazali menitipkan putranya, kepada teman sufinya untuk diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sekalipun menghapuskan harta warisannya. Dan ia berharap agar kehidupan putranya kelak tak diliputi rasa menyesal karena minimnya ilmu pengetahuan sebagaimana ayahnya.
Sejak kecil Al-Ghazali terkenal akan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan kegigihannya dalam mencari ilmu. Maka tidak mengherankan jika dalam masa usia yang masih kanak-kanak ia telah belajar dengan sejumlah guru di tanah kelahirannya yang diantaranya adalah Ahmad Ibn Muhammad Al-Radzikani, seorang faqih. Dan ia pun tanpa segan belajar dengan guru-guru di daerah lain yang jauh dari tanah kelahirannya, untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya, ia berhijrah ke Naisabur dan belajar pada Imam Al-Juwaini (Imam Al-Haromain). Dan darinya ia belajar ilmu kalam, ilmu Ushul dan ilmu pengetahuan agama yang lainnya.
Atas kecerdasannya dan kesanggupannya dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih, Imam Al-Juwaini memberikan predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut yang menenggelamkan (bahrun mughriq).” Sepeninggal Al-Juwaini pada tahun 478H/1085M, Al-Ghazali menuju Baghdad dan menjadi guru besar pada tahun 483H/1090M di universitas yang didirikan Nidham Al-Mulk seorang perdana menteri Sultan Bani Saljuk. Selama ia di Baghdad, selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniah, ismailiyah, filsafat dan lain-lainnya.[1] Dan ditengah-tengah kesibukkannya tersebut dengan kreatif ia sempat mengarang beberapa kitab pengetahuan antara lain Al-Basith, Al-Wajiz, Khulasoh Ilmu Fiqh, Al-Munqil fil ilmi al-Jadal, Ma’khaz Al-Kalaf, Lubab Al-Nadzar, Tahsin Al-Ma’akhidz,  dan Mamadi’ wa Al-Ghayat fi fan Al-Khalaf .[2]
Sebenarnya Al-Ghazali telah menelan seluruh paham, aliran, dan ajaran-ajaran firqoh, thaifah dan filsafat. Semua itu menimbulkan pergolakan dalam otaknya sendiri, karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya, sehingga ia ragu akan kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi untuk mengetahui hakikatnya.[3] Dan selama itu ia menderita penyakit keragua-raguan yang tak terobati dengan obat lahiriyah (psikoterapi), sehingga ia memutuskan untuk berhenti pada tahun 488H dan menuju Damsyik, dan dikota ini ia merenung , membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.[4] Dan kemudian dilanjutkan ke Palestina. Disini ia pun merenung, membaca menulis di Masjid Baitul Maqdis. Setelah itu, menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di Syams. Dari sini ia bertolak ke Baghdad lalu ke Naisaburi dan bertugas sebagai guru. Tetapi tidak lama setelah itu ia kembali ke tanah kelahirannya hingga wafat pada tahun 505H/1111M setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan dan memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya.
B.  Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali memaparkan pemikirannya tentang pendidikan Islam dalam tiga kitabnya yakni, Fatihatul Kitab, Ayyuhal Walad, dan Ihya’ ‘Ulumuddin. Dalam kitab-kitab ini kita akan menemukan pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan yang komprehensif dan pembatasan yang jelas. Secara sistematis, pemikirannya memiliki corak tersendiri. Ia secara jelas dan tuntas mengungkapkan pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang meliputi hakikat tujuan pendidikan, pendidik dan peserta didik, bidang studi, dan metode pendidikan.
1.        Pentingnya Ilmu dan Pendidikan
Dalam mempelajari Imam Ghazali, sesuatu yang sangat penting untuk dibahas dari segi pendidikan adalah perhatiannya yang sangat dalam terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan maupun keyakinan yang sangat kuat bahwa pendidikan yang baik itu merupakan suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat.[5] Manusia dapat diakui sebagai manusia dan dibedakannya dari hewan oleh ilmu pengetahuaanya. Oleh karena itu kedudukan, kemuliaan ilmu pengetahuan dan orang-orang yang berilmu sangat tinggi derajatnya di hadapan Allah swt. Menurutnya bahwa masyarakat tanpa ilmu adalah masyarakat yang tidak sehat. Dan untuk itu Al-Ghazali memberikan kedudukan tinggi bagi seorang guru dan menaruh kepercayaan terhadapnya sebagai pensehat atau pembimbing yang baik.
Dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin Al-Ghazali tentang ilmu pengetahuan dan manusia serta ketinggian derajat dan kedudukan ulama sebagaimana dikutib oleh Fathiyah Hasan Sulaiman (1986: 22) sebagai berikut:
Makhluk yang paling mulia di bumi ini adalah jenis manusia dan bagian yang paling mulia diantara subtansi manusia itu adalah hatinya. Sedangkan guru adalah orang yang berusaha menyempurnakan, meningkatkan, mensucikan dan membimbing hati itu mendekat kepada Allah swt., dan dari segi lain termasuk tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Dikatakan khalifah Allah karena Allah telah membuka hati seorang Alim dengan ilmu, yang justru ilmu itu menjadi identitasnya. Karena itu menjadi bendahara bagi personalia-personalia didalam khazanah Tuhan.”
Dan dalam melukiskan pentingnya pengajaran dan kewajiban serta keharusan ikhlas dalam belajar beliau berkata dalam Fatihatul ‘Ulum sebagaimana dikutib oleh Fathiyah Hasan Sulaiman (1986: 23) sebagai berikut:
“Manusia itu semuanya bakal binasa kecuali orang-orang Alim, orang-orang Alim pun semuanya akan hancur kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya, juga orang-orang yang mengamalkan ilmunya semua akan lenyap kecuali orang-orang yang ikhlas dalam beramal”
2.        Tujuan Pendidikan Islam
Adapun pemikiran AL-Ghazali tentang tujuan pendidikan dalam berbagai kitabnya yang disusun sebagaimana yang dirumuskan oleh Zainuddin (1991: 42-50) sebagai berikut:
a.       Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja.
Al-Ghazali mengatakan dalam Ihya’ ‘Ulumuddin Juz 1:
Apabila engkau mengadakan penyelidikan terhadap ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri.”
Dari perkataan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa penelitian, penelitian dan pengkajian dengan mencurahkan tenaga dan pikiran mengandung kenikmatan intelektual dan spiritual yang mendorong semangat dalam mencari ilmu. Hal tersebut dikarenakan ilmu pengetahuan seyogyanya dipelajari, lantaran ia mempunyai keistemewaan-keistemewaan dan kebagusan-kebagusan, jadi seolah-olah ilmu itu memiliki keutamaan pada dirinya sendiri dan memberikannya pada orang lain tanpa syarat.[6] Dan Al-Ghazali mewanti-wanti kepada para pelajar agar dapat bersikap kritis dan cerdas dalam menoreh ilmu pengetahuan.
b.      Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan Akhlak.
Al-Ghazali mengatakan dalam Mizanul Amal :
Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang, adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya.”
Dari uraian Al-Ghazali tersebut sudahlah jelas bahwa pendidikan haruslah mengedepankan pembentukan dan penyempurnaan akhlak peserta didik. Karena akhlak merupakan aspek yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Menurut Al-Ghazali akhlak adalah keadaan jiwa yang mantab dan bisa  melahirkan tindakan dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran dan perenungan. Dan akhlak tersebut didasari atas empat kekuatan psikologis, yakni ilmu, marah, nafsu dan rasa keadilan. Dan akhlak yang baik akan terbentuk dalam diri seseorang apabila keempat kekuatan ini berada dalam keseimbangan. Pada intinya, pendidikan akhlak adalah usaha untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan tersebut dan menjaga agar semuanya dalam keadaan seimbang.[7]
c.        Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
Al-Ghazali mengatakan:
Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan Pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintah bagi pimpinan Negara dan penghormatan menurut kebiasaannya”.
Dari sini Al-Ghazali memaparkan bahwa harus adanya keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tidak hanya memperhatikan dunia saja ataupun akhirat saja. Jadi ruang lingkup pendidikan pada manusia menurut Al-Ghazali tidaklah terbatas bagi kehidupan akhirat saja maupun dunia saja, melainkan harus adanya sinkronisasi atau integrasi antara keduanya.
Dengan ketiga tujuan ini diharapkan diharapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah swt.
3.        Pendidik
Dalam istilah pendidik, Al-Ghazali menggunakan istilah al-mu’allimin (guru), al-mudarris (pengajar), al-muaddib (pendidik), al-walid (orang tua).[8] Dan secara umumnya pendidik adalah orang yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran yakni orang yang membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga dekat dengan Allah swt. Tugas ini didasarkan pada ungkapan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia dan kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya.
a.         Profesi pendidik
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Ghazali berkata:
“Apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu, maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu.”
Jadi mengajar dan mendidik merupakan hal yang sangat mulia, dan secara naluriah, orang yang berilmu akan dimuliakan oleh orang lain, karena ilmu adalah mulia dan mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan.
Akan tetapi, posisi pengajar dalam masa modern dewasa ini, telah dipandang sebagai petugas semata yang mendapat gaji dan tanggung jawab tertentu, serta tugas yang dilimitasi dalam dinding sekolah yang merupakan dampak dari komersialisme pendidikan, matrialisme dan modernisasi, sehingga terciptalah jarak antara pendidik dan peserta didik.
Padahal, dalam pandangan Al-Ghazali, tugas mengajarkan ilmu menduduki posisi terhormat dan mulia. Dengan kemuliaannya tersebut, maka tugas seorang guru tidak hanya diorientasikan pada gaji semata, melainkan perlu adanya keteladanan bagi peserta didik dan penanaman nilai-nilai moral islam.
Al-Ghazali juga menyebutkan:
“Seorang guru adalah berurusan  langsung dengan hati dan jiwa manusia dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini adalah jenis manusia, bagian paling mulia dari bagian-bagian tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawa hati itu mendekat kepada Allah SWT.”
Dari pemaparan tersebut, seorang guru merupakan orang yang termulia yang mendidik hati, jiwa, akal dan roh manusia. Tugas seorang guru sangatlah penting, ia bertugas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta memperbaiki masyarakat.
b.         Gaji pengajar
Untuk masalah ini, para pakar fiqh masih berbeda pendapat mengenai gaji yang diberikan kepada guru yang mengajarkan Al-Qur’an yang merupakan sesuatu yang paling suci dikalangan umat Islam. Al-Qobisi membolehkan seseorang guru menerima gaji. Akan tetapi Al-Ghazali berpendapat sebaliknya, ia berkata:
“Al-Qur’an diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang yang mengajarkannya. Ini adalah alasan agama yang menuntut para guru menunaikan tugas dan kewajibannya di jalan Allah.”
Berdasarkan hal tersebut Al-Ghazali mengharamkan gaji. Selain itu ia juga mengkritisi ulama-ulama yang mengharapkan belas kasihan para Sultan untuk kelangsungan hidup mereka.
Dari pemaparan tersebut Al-Ghazali mengharamkan gaji yang mana apabila Al-Qur’an dijadikan suatu alat untuk mencari rizki, serta satu-satunya tujuan untuk mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.


c.         Persyaratan kepribadian pendidik
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Ghazali memaparkan betapa pentingnya kepribadian seorang pendidik:
“Seorang guru mengamalkan ilmunya, lalu perkataanya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat degan kata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang memiliki mata kepala lebih banyak.”
Dari pemaparan diatas, Al-Ghazali menegaskan bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seorang pendidik sangatlah penting, bahkan lebih penting daripada ilmu penetahuan yang dimilikinya. Karena kepribadian seorang pendidik menjadi teladan dan akan ditiru oleh anak didiknya.
Adapun syarat-syarat kepribadian bagi seorang pendidik yang diungkapkan oleh Al-Ghazali sebagaimana berikut:
1)      Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
2)      Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3)      Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya’/pamer.
4)      Tidak takabbur kecuali kepada orang-orang yang dholim, dengan maksud mencegah dari tindakannya.
5)      Bersikap tawadhu’ dalam pertemuan-pertemuan
6)      Sikap dan pembicaraannya tidak main-main.
7)      Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya.
8)      Menyantuni serta tidak membentak orang-orang bodoh.
9)      Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10)  Berani berkata: saya tidak tahu terhadap masalah yang tidak dimengerti.
11)  Menampilkan hujjah yang benar, apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia rujuk kepada kebenaran.
d.        Tugas dan kewajiban pendidik
Tugas dan kewajiban seorang guru menurut Al-Ghazali sebagaimana yang dijelaskan dalam Ihya’ ‘Ulumuddin dan Mizanul Amal dapat diuraikan sebagai berikut:
1)      Mengikuti jejak Rosulullah dalam tugas dan kewajibannya
Al-Ghazali berkata:
“Seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rosulullah, maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.”
Seorang guru yang merupakan pengganti Nabi dalam berdakwah dan menyerbakan ilmu pengetahuan haruslah mencerminkan diri sebagai uswatun hasanah kepada peserta didik sebagaimana Rosulullah SAW. Dan dalam pengajaran ilmu harus didasarkan untuk mencari ridho Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
2)      Memberikan kasih sayang dan perhatian yang tepat terhadap anak didik
Al-Ghazali mengatakan:
“Memberikan kasih sayang kepada murid-murid dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri.”
Dengan demikian, seorang guru merupakan pengganti dan wakil bagi orang tua peserta didik dengan mencintainya sebagaimana anaknya sendiri. Sehingga hubungan psikologis antara guru dan peserta didik, seperti hubungan naluriah antara orang tua dan anak. Sedemikian dekat hubungan guru-murid dalam pandangan Al-Ghazali, sehingga ia menyatakan bahwa guru memiliki hak yang lebih besar atas anak didik ketimbang orang tua mereka sendiri.[9] Dari hal tersebut akan timbul hubungan timbal balik yang harmonis dan berpengaruh positif terhadap proses pembelajaran.
Selain itu seorang guru harus mengenali sebaik mungkin latar belakang pengetahuan muridnya dalam bidang kajian tertentu serta mempertimbangkan daya tangkapnya, sehingga ia dapat menentukan kajian yang cocok untuknya dan menyesuaikan pengajaranya. Dan yang paling rumit dari tugas seorang guru adalah pendidikan akhlak bagi para muridnya. Perlu adanya penanaman nilai-nilai ajaran Islam dan membentuk kepribadian baik muridnya sehingga tujuan dan kepribadian peserta didik dapat terarahkan sesuai jalan yang diridhoi oleh Allah.
3)      Menjadi teladan bagi anak didik
Al-Ghazali menegaskan bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seorang pendidik sangatlah penting, bahkan lebih penting daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Seorang guru harus konsekuen dan mampu menjaga keharmonisan antara perkataan, ucapan, perintah dan larangan dengan amal perbuatan guru, karena yang terpenting adalah amal perbuatannya, bukan ucapannya.[10] Karena kepribadian seorang pendidik menjadi teladan dan akan ditiru oleh anak didiknya.
4)      Menghormati kode etik guru
Ilmu pengetahuan dan guru menduduki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu hubungan antar guru harus saling menghormati dan memuliakan. Dan seorang guru pun seharusnya mengajak para muridnya untuk menghormati dan memuliakan segenap guru dan ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. Dalam rangka membantu kemajuan proses pendidikan dan pengajaran, setiap guru haruslah menjaga kode etik guru tersebut.


4.        Peserta Didik
a.       Fitrah
Manusia dilahirkan di dunia ini dengan fitrah. Dan fitrah menurut Al-Ghazali berdasarkan QS.30:30 ialah iman kepada Allah dan mengakui ke-Esaan-Nya. Fitrah ini sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia; cocok dengan tabiat dasarnya yang memang condong ke Agama tauhid.[11]
Dan pada dasarnya fitrah adalah baik dan sempurna, fitrah memiliki kemungkinan untuk menerima sesuatu kebaikan dan keburukan. Selain itu fitrah juga merupakan dorongan ingin tahu terhadap kebenaran yang dibawanya sejak lahir. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa manusia terlahir dengan membawa potensi-potensi dan sifat-sifat yang masih berupa kemungkinan dalam pengembangannya, karena semua itu masih terpendam dalam jiwa manusia. Intinya adalah, fitrah merupakan dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
Selain itu, Al-Ghazali juga menerangkan tentang pengaruh faktor endogen dan eksogen yang diumpamakan dengan sebiji kurma bukanlah apel atau pohon kurma, melainkan  biji yang mungkin dapat dijadikan pohon kurma apabila diusahakan pemeliharaan padanya. Dari hal tersebut Al-ghazali mengakui kedua faktor tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan anak didik.
b.      Perkembangan anak didik
Manusia diciptakan dari ketiadaan dan berangsur berubah menuju kesempurnaan dengan disertai berbagai proses tertentu untuk menujunya. Dengan fitrah, manusia dapat melakukan evolusi, yakni perubahahan dan perkembangan dalam dua aspek, aspek fisik dan aspek psikis. Aspek fisik manusia memiliki potensi-potensi dan kemampuan tenaga fisik yang mana apabila dikembangkan dengan benar dan baik  akan menjadi suatu kecakapan dan ketrampilan dengan memanfaatkan karunia Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Aspek psikis mengandung begitu banyak potensi yang apabila dikembangkan dengan benar dan baik akan menciptakan pikiran yang ilmiah, berkarya ilmiah dan bersikap ilmiah dalam rangka untuk mencari kebenaran hakiki yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Manusia berkembang dari ketiadaan menju kesempurnaan melalui beberapa tingkatan, dimana dalam tingkatan perkembangan tersebut memiliki sifat yang saling berbeda. Dan tingkatan-tingkatan perkembangan tersebut menurut Al-Ghazali sebagaimana yang diutarakan Zainudin (1991:69) yaitu:
1)      Al-Janin, tingkat anak yang berada dalam kandungan, adanya kehidupan setelah ditiupkan roh oleh Allah.
2)      At-Tifl, tingkat anak-anak dengan memperbanyak latihan dan kebiasaan sehingga mengetahui baik dan buruk.
3)      At-Tamyiz, tingkat anak yang telah dapat membedakan suatu yang baik dan buruk, bahkan akal pikirannya telah berkembang sedemikian rupa sehingga telah dapat memahami ilmu dloruri.
4)      Al-Aqil, tingkat manusia yang telah berakal sempurna bahkan akal pikirannya telah berkembang secara maksimal sehingga telah menguasai ilmu dloruri.
5)      Al-Auliya’dan Al-Anbiya’,tingkat tertinggi dalam perkembangan manusia. Bagi para nabi telah mendapatkan ilmu dari Tuhan melalui malaikat yang berupa wahyu. Dan bagi para wali telah mendapatkan ilmu ilham atau ilmu laduni yang tidak tahu bagaimana dan darimana ilmu itu didapatkannya.
c.       Etika anak didik terhadap pendidik
Al-Ghazali menerangkan etika anak didik terhadap pendidik secara terperinci dalam kitabnya Bidayatul Hidayah yang mana secara garis besarnya dapat disimpulkan menjadi 3 hal sebagaimana yang diutarakan oleh Zainuddin (1991:71) berikut ini:
1)   Memperhatikan kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan guru, sehingga hubungan antara guru dan murid dapat berjalan secara harmonis.
2)   Memperhatikan konsentrasi dan suasana belajar mengajar di dalam kelas.
3)   Sopan santun dan tatakrama dalam pergaulan sehari-hari.
d.      Tugas dan kewajiban para pelajar
Al-Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban para pelajar di dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin dan Mizanul ‘Amal secara luas dan mendalam yang dapat diuraikan sebagaimana berikut:
1)      Mendahului kesucian jiwa
Belajar dan mengajar merupakan suatu ibadah yang sangat tinggi dan mulia kedudukannya dihadapan Allah. Oleh karena itu perlu didahului dengan kesucian jiwa dari kerendahan akhlak dan dari sifat-sifat tercela. Karena ilmu pengetahuan merupakan kebaktian hati, shalatnya jiwa dan mendekatkan batin kepada Allah. Sebagaimana kata Imam Waki’ guru Imam Syafi’i bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tak kan masuk dengan adanya kemaksiatan.
2)      Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan bersedia merantau yakni dimaksudkan agar dalam mencari ilmu pengetahuan dapat mencurahkan segala tenaga, jiwa, raga dan pikiran dan terhindar dari faktor-faktor yang dapat mengendorkan semangat belajar yang berupa hubungannya dengan kesibukan-kesibukan duniawi dan keluarga serta tanah kelahirannya. Karena hubungan itu dapat mempengaruhi dan memalingkan hati. Selain itu dengan pengembaraan yang dilaksanakan dengan sebaik-baiknya akan menambah pengalaman dan pengetahuan serta menambah persahabatan dan meningkatkan persaudaraan;mendewasakan diri dan memperluas  wawasan berpikir, serta mengembangkan fungsi hidup manusia.[12]
3)      Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya
Sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali bahwa seorang pelajar seharusnya jangan menyombongkan diri dengan ilmu pengetahannya dan jangan menentang gurunya. Akan tetapi patuhlah terhadap pendapat dan nasihat seluruhnya seperti patuhnya orang sakit yang bodoh kepada dokter yang ahli dan pengalaman. Dan yang dimaksudkan guru disini adalah seseorang yang telah memiliki keahlian yang tinggi dan pengalaman yang luas, telah menyelidiki dengan teliti keadaan pelajar itu sehingga mengetahui kelemahan dan penyakitnya, setelah itu baru memberikan nasihat atau petunjuk dan pengobatan yang sesuai. Seorang guru yang demikian dapat disebut sebagai konsultan jiwa bagi masyarakat atau tenaga bimbingan atau konseling bagi sekolah.[13]
4)      Menghindarkan diri dan tidak terlibat dalam kontroversi dan pertentangan kalangan akademis
Hal ini sangat relevan bagi para pemula, sebab kontroversi dapat membingungkan otaknya sehingga membuat ketertarikannya terhadap ilmu pengetahuan menjadi surut. Al-Ghazali menyarankan agar murid-murid pemula membatasi diri dengan pandangan-pandangan gurunya saja. Hanya apabila ia telah menguasai pandangan-pandangan gurunya secara sempurna baru ia lanjutkan dengan mempelajari pandangan ulama-ulama lain dengan syarat ulama tersebut telah mampu menghasilkan pandangan sendiri yang independen.[14]
5)      Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan
Al-Ghazali menasihatkan untuk para pelajar bahwa seorang pelajar harus mendahulukan ilmu pengetahuan yang paling pokok dan mulia yang dipelajari secara mendalam serta mengetahui tujuannya. Dan ilmu yang mulia tersebut dapat diindikasikan dengan dua hal, yakni kemuliaan hasilnya dan kepercayaan serta kekuatan dalilnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan ilmu yang penting dan kemudian ilmu pelengkap dan seterusnya. Dan Al-Ghazali menyarankan untuk memilih suatu cabang ilmu tertentu untuk dikaji secara mendalam, terutama untuk memilih satu cabang ilmu agama, karena ini dianggap akan membawa kebahagiaan yang abadi. Pada intinya Al-Ghazali menganggap bahwa seseorang perlu mendapatkan pendidikan dasar terlebih dahulu, sebelum ia melanjutkan pendidikan sepesialis dalam dalam bidang tertentu.[15]
5.        Bidang Studi
Dalam pemberian pengajaran dan pembelajaran perlu adanya perhatian terhadap jenjang pendidikan anak didik yang diawali dengan mengembangkan kemampuan membaca, menulis, menghafalkan bagi usia anak-anak yang memiliki fungsi fundamental untuk dapat mempelajari berbagai disiplin ilmu pada jenjang pendidikan yang akan mereka lalui. Dengan pemberian ilmu pengetahuan dasar dimaksudkan sebagai alat pengembangan daya ingatan, akal pikiran dan bakat mereka, dan menguasai ilmu pengetahuan tersebut untuk diamalkan pada kehidupan sehari-hari dan sebagai  dasar untuk memperdalam ilmu pengetahuan berikutnya atau sebagai dasar pandangan dan pegangan hidup nantinya.[16]
Selain itu, Al-Ghazali juga menekankan aspek-aspek keagamaan yang diwarnai dengan tasawuf dan budi pekerti. Walaupun demikian beliau tidak melalaikan akan kepentingan duniawi, seperti kebudayaan, peradaban dan kebendaan, serta aspek-aspek pendayagunaan manfaat.[17]
Dalam kaca mata Al-Ghazali, secara garis besarnya ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua segi. Yakni ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi proses, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu hissiyah, yang diperoleh manusia melalui alat indra, ilmu aqliyah, yang diperoleh melalui kegiatan berpikir, dan ilmu laduni, diperoleh langsung dari Allah tanpa melalui proses pengindraan maupun kegiatan berpikir.
Dan ilmu sebagai obyek, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi tiga kelompok, yakni:
a.         Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak.
Ialah ilmu yang tidak dapat diharapkan kegunaannya didunia apalagi di akhirat. Seperti ilmu sihir, tulisan Azimat, ilmu nujum dan ilmu meramal nasib.[18]
b.         Ilmu pengetahuan yang terpuji secara mutlak, baik sedikit maupun banyak.
Ialah pelajaran-pelajaran agama dan berbagai macam ibadah yang dapat mensucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatan tercela, membantu mengetahui kebaikan dan dan mengerjakannya, memberi tahukan manusia ke arah jalan yang lurus dan diridhoi Allah serta mendekatkan diri kepada-Nya.[19]
c.         Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika memperdalaminya tercela.
Pengetahuan yang mana apabila dipelajari secara mendalam akan membawa madhorot yang dapat menyebabkan kekacauan pikiran dan keraguan, bahkan bisa membawa kepada kekufuran dan pengingkaran. Seperti ilmu Ketuhanan, cabang dari ilmu filsafat dan sebagian aliran naturalisme.
Selain melihat dari dua segi di atas, Imam Al-Ghazali juga membagi ilmu berdasarkan hukum mempelajarinya. Yakni, ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain, yakni ilmu yang harus dipelajari oleh setiap individu seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya, serta ilmu yang hukum mempelajarinya  fardhu kifayah. Yakni, ilmu pengetahuan yang wajib bagi individu, tetapi bila sudah ada individu yang mempelajarinya maka kewajiban bagi individu lain gugur. Contohnya ialah ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian dll.
Sedangkan dari segi kekhususannya, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bidang, yaitu:
a.       Ilmu Syari’at sebagai ilmu yang terpuji, terdiri dari:
1)        Ilmu Ushul (ilmu pokok); ilmu Al-Qur’an, Hadist, pendapat Sahabat, dan Ijma’
2)        Ilmu Furu’ (ilmu cabang); Fiqh, ilmu hati dan akhlak
3)        Ilmu Muqoddimah (ilmu pengantar); ilmu bahasa dan gramatika
4)        Ilmu Mutammimah (ilmu pelengkap); ilmu Qiroat, Makhorijul hurf, Nasikh Mansukh, sejarah nabi dan sahabat dll.
b.      Ilmu bukan  Syari’at, terdiri dari:
1)      Ilmu terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu perusahaan
2)      Ilmu yang diperbolehkan; ilmu kebudayaan, satra, sejarah dan puisi.
3)      Ilmu yang tercela; ilmu tenung, ilmu sihir, dan bagian-bagian tertentu dari filsafat
6.        Metode Pendidikan menurut Al-ghazali
a.    Asas-asas metode belajar
1)      Memusatkan perhatian sepenuhnya
Dengan memusatkan perhatian sepenuhnya terhadap pembelajaran, anak didik akan dapat mengetahui dan memahami pelajaran dengan baik dan sempurna. Selain itu keadaan psikis anak didik juga menentukan, dengan perasaan senang, keperluan akan mempelajari pelajaran tersebut, akan membuat anak didik menaruh kecenderungan dan ketertarikan serta mempunyai minat yang tinggi terhadap pelajaran tersebut.


2)      Mengetahui tujuan ilmu yang dipelajari
Pelajar harus mengetahui hubungan ilmu pengetahuan itu dengan tujuannya, sehingga pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya akan membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih jauh.[20] Dengan memahami betul tujuan dalam pembelajaran maka pelajar akan senang dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencapai tujuan tersebut.
3)      Mempelajari ilmu pengetahuan dari yang sederhana kepada yang kompleks
Pelajar dalam memperoleh pengajaran harus diperhatikan tahapan-tahapannya. Dengan diawali pengantar yang sederhana dan dasar-dasarnya kemudian jika telah menguasai barulah naik ke jenjang berikutnya. Hal tersebut dimaksudkan agar pelajar dapat menyerap pelajaran dengan baik yang sesuai dengan jenjangnya dan tidak menggoyahkan pikirannya karena telah memiliki dasar  yang kuat.
4)      Mempelajari ilmu pengetahuan dengan memperhatikan sistematika pembahasannya
Mempelajari ilmu pengetahuan memang selayaknya mengetahui kesesuaian dan relevansi terhadap prinsi sequence yakni yang menuntut urutan dalam setiap mata pelajaran dengan tujuan yang jelas serta tingkat menuju tingkat berikutnya, sehingga diharapkan dapat menimbulkan suatu proses pertumbuhan akal pikiran dan perkembangan mental yang baik.[21]
b.    Asas-asas metode mengajar
1)      Memperhatikan tingkat daya pikiran anak
Seorang guru hendaknya memperhatikan dan memperkirakan tingkat daya pikiran anak didiknya dan memberikan pengajaran yang sesuai dengannya, sehingga tidak terjadi misunderstanding terhadap anak didik dalam menerima pembelajaran.
2)      Menerangkan pelajaran dengan cara sejelas-jelasnya
Yang dimaksudkan dalam prinsip ini adalah perlu adanya penyesuaian pemberian pengajaran terhadap keberagaman tingkat daya tangkap atau daya pikir anak didik. Anak didik yang memiliki tingkat kemampuan yang tergolong di bawah rata-rata perlu adanya penjelasan yang sejelas-jelasnya agar dapat memelihara kadar kelemahannya sehingga tidak berpengaruh buruk dalam jiwanya.[22] Sebaliknya anak didik yang tergolong memiliki kemampuan di atas rata-rata cukup dengan penjelasan yang singkat dan ringkas saja yang dapat dipahami oleh mereka.
3)      Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang kongkrit menuju yang abstrak
Dalam pemberian pengajaran perlu adanya perhatian terhadap jenjang anak didik. Anak didik diberikan pengajaran dari hal yang umum menuju yang khusus, dari yang mudah menuju yang sulit, dari  yang dasar menuju cabang-cabang, dari yang kongkrit menuju yang abstrak. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pendangkalan otak, pelemahan akal pikiran dan pengaburan pemahaman terhadap anak didik.
Al-Ghazali menyarankan agar dalam pendidikan agama itu dimulai dengan menghafal serta meyakini dan membenarkannya. Setelah itu baru ditegakkan dengan bukti-bukti atau dalil-dalil yang dapat membantu mantapnya keyakinan tersebut.[23]
4)      Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara berangsur-angsur
Al-Ghazali menganjurkan agar dalam pemberian pengajaran perlu memperhatikan kemampuan berpikir dan kesedian menerima pelajaran anak didik  yang dilakukan secara berangsur-angsur setingkat demi setingkat dan menuju tingkat berikutnya.
c.    Asas-asas metode mendidik
1)        Memberikan latihan-latihan
Metode dalam melatih anak-anak merupakan hal yang sangat penting dan perlu sekali. Metode ini harus diberikan kepada anak-anak sedini mungkin, karena hal tersebut dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangannya kelak. Al-Ghazali menghendaki dengan cara latihan ini meliputi pembiasaan, disiplin dan contoh-contoh, kemudian latihan-latihan dengan alat-alat seperti anjuran, perintah larangan dan lain-lain.[24]
2)        Memperhatikan pengertian-pengertian dan nasihat-nasihat
Nasihat-nasihat dimaksudkan agar anak mendapatkan pengertian tentang perbuatan dan perilakunya sehari-hari, sehingga kedepannya ia menjadi teguh dan kuat dalam pribadinya. Nasihat merupakan hal yang penting bagi urgensi kehidupan anak dan sebagai masukan informatif yang sangat positif.
3)        Melindungi anak dari pergaulan buruk
Al-Ghazali sangat memperhatikan pergaulan anak dan menyarankan agar guru memperhatikan pergaulan anak didiknya dengan serius, karena pergaulan berdampak besar bagi perkembangan anak.
d.   Alat-alat pendidikan langsung
Alat pendidikan langsung yaitu langkah-langkah yang diambil guru yang ditujukan kepada anak didik secara langsung untuk mencapai kelancaran proses pembelajaran dan pengajaran.
1)      Alat pendidikan preventif
a)    Anjuran dan perintah
Anjuran disini merupakan saran dan ajakan untuk melakukan hal yang positif. Sedangkan perintah yakni suatu keharusan untuk melakukan sesuatu yang baik dan berguna dan yang diwajibkan. Kedua hal tersebut berguna untuk membentuk kesadaran dan pengertian menjalankan kewajiban, sehingga berangsur-angsur tumbuh rasa senang melakukannya, selanjutnya anak akan terdorong dalam melakukannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.[25]
b)   Larangan
Larangan dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari sesuatu yang buruk, tercela, tidak berguna dan dilarang oleh agama.
c)    Disiplin
Pembiasaan dilakukan seakan-akan seperti suatu paksaan, namun sebenarnya merupakan bimbingan dan mengarah kearah perbuatan yang baik, pantas dan sopan. Disiplin disini merupakan kesediaan untuk mematuhi peraturan yang baik yang didasari dengan kesadaran tentang nilai dan pentingnya peraturan tersebut.
2)      Alat pendidikan kuratif
a)    Peringatan
Peringatan diberikan kepada anak didik yang telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang biasanya disertai dengan ancaman atau sanksi apabila anak mengulangi perbuatannya tersebut. Dalam memberikan peringatan haruslah dengan cara yang bijaksana, kalimat yang singkat dan berisi, serta tutur kata yang halus dan secara simbolis atau dengan bahasa isyarat.
b)   Teguran
Dalam menegur anak, tidaklah menggunakan terlalu banyak kata-kata yang mungkin akan menyebabkan anak meremehkannya. Akan tetapi dengan cara yang halus, lemah lembut dan penuh kasih sayang yang dilakukan sekali-kali saja. Pemberian teguran juga dapat dilakukan dengan bahasa simbolis atau isyarat.
c)    Sindiran
Al-Ghazali menganjurkan untuk memperbaiki akhlak yang buruk dengan sindiran dengan cara kasih sayang dan halus agar dapat membawa anak didik kepada jiwa yang bersih dan hati yang suci untuk memahami tujuan.
d)   Ganjaran
Ganjaran merupakan salah satu alat pendidikan yang diberikan kepada anak didik atas prestasi yang diraihnya. Dengan ini diharapkan agar dapat merangsang anak didik lain untuk mengikutinya dan mengembangkan prestasinya dan biasa dengan tingkah laku yang baik. Dan ganjaran tersebut dapat berupa:
§  Penghormatan, berupa kata-kata atau isyarat.
§  Hadiah, yakni ganjaran yang berupa pemberian sesuatu yang bertujuan untuk mengembirakan anak.
§  Pujian dihadapan orang banyak
e)    Hukuman
Yakni suatu perbuatan dengan sadar dan sengaja yang dijatuhkan untuk memperbaiki atau melindungi diri sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran. Dan Al-Ghazali berpendapat bahwa hukuman merupakan jalan yang paling akhir apabila teguran, peringatan dan nasehat-nasehat belum bisa mencegah anak melakukan pelanggaran.[26]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa Al Ghazali merupakan tokoh cendekiawan muslim yang memperhatikan dunia pendidikan terutama pendidikan Islam. Perhatiannya tersebut sudah terlihat sejak ia mengembara untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Sehingga melahirkan sebuah konsep tentang pendidikan Islam. Konsep tersebut terdiri dari beberapa komponen yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, bidang studi dan metode pendidikan.
Ada tiga tujuan dalam pendidikan. yang pertama yaitu pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini berkaitan dengan berbagai penelitian-penelitian dalam upaya mengulas secara mendalam tentang ilmu-ilmu pengetahuan. Tujuan yang kedua yaitu pendidikan membentuk akhlak yang baik. Pembentukan akhlak ini merupakan tujuan yang paling utama karena akhlak sangat mendasar bagi hubungan-hubungan yang dijalin manusia. Tujuan pendidikan yang ketiga yaitu mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Tujuan yang terakhir inilah yang menjadi golden goal dalam pendidikan Islam. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan Islam itu tidak hanya ditujukan untuk kehidupan dunia saja namun juga kehidupan di akhirat.
Komponen kedua dalam pendidikan Islam adalah pendidik. Pendidik menurut pandang Al Ghazali merupakan pekerjaan yang mulia dan tidak terorientasi pada gaji. Ia harus bekerja dengan sebuah panggilan jiwa yang berusaha untuk mendidik, mebimbing dan mengajar agar para peserta didik dapat mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Kemudian komponen ketiga peserta didik. Yaitu orang yang mempunyai potensi dalam dirinya untuk dibimbing, didik dan diajar agar dapat mencapai tujuan pendidikan.
Komponen keempat yaitu bidang studi yang berisi ilmu pengetahuan yang akan ditransfornasikan kepada peserta didik. Di dunia ini ada bermacam-macam ilmu pengetahuan. Untuk itu perlu adanya suatu metode yang digunakan guna tercapainya tujuan pendidikan. Metode inilah yang mejadi komponen kelima dalam pendidikan Islam menurut Al Ghazali. Metode mencakup bagaimana cara seorang pendidik dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga terlihat bahwa kelima komponen tersebut saling terkait. Peserta didik merupakan subyek didik yang dididik, dibimbing dan diajar berbagai ilmu pengetahuan oleh pendidik dengan menggunakan metode pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan. Sebagai seorang yang dibimbing seorang peserta didik memiliki tugas dan kewajiban. Selain itu peserta didik juga harus bersikap tawadhuk terhadap guru yang telah mmembimbingnya. Pendidik pun dalam bekerja harus memperhatikan perkembangan peserta didik sehingga ilmu dan metode yang digunakan sesuai dengan kemampuan peserta didik.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurraziq, Ahmad Al-Bakri. 2007. Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin. Sahara Publisher: Jakarta
Al-Ghazali. 2010. Ayyuhal Walad. Al-Maktabah Al-Usmaniyah: Kediri
Al-Ghazali. 2010. Ihya’u ‘Ulumuddin Juz 1. Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah: Lebanon
Asari, Hasan. 1999. Nukilan Pemikiran Islam Klasik: Gagasan Pendidikan Al-Ghazali. Tiara Wacana: Yogyakarta
Jalaludin dan Said, Usman. 1999. FIlsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Ciputat Press: Jakarta
Sulaiman, Fatiyah Hasan. 1986. Konsep Pendidikan Al Ghazali. PT. Temprint: Bandung
Sulaiman, Fatiyah Hasan. 1986. Sistem Pendidikan Versi Al Ghazali. Alma’arif: Bandung
Zainuddin. 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Gazhali. Bumi Aksara: Jakarta


[1] Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Bumi Aksara, 1991, hal. 9
[2] Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan, PT. Raja Grafindo Persada, 1999, hal139
[3] Ibid. Zainuddin, hal.9
[4] Ibid.,, hal. 9
[5] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, PT. Al-Ma’arif, 1986, hal. 22
[6] Ibid., hal. 25
[7] Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik: Gagasan Pendidikan Al-Ghazali, PT. Tiara Wacana Yogya,  1999, hal.86
[8] Ibid., Zainuddin, hal. 50
[9] Ibid., Hasan Asari, hal. 104
[10] Ibid., Zainuddin, hal.62
[11] Ibid.,hal. 64
[12] Ibid.,hal. 72
[13] Ibid., hal. 73
[14] Ibid., Hasan Asari, hal. 95
[15] Ibid.., hal. 99
[16] Ibid.., Zainuddin, hal.74
[17] Ibid., Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986, hal. 27
[18] Ibid.
[19] Ibid., hal. 28
[20] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin
[21] Ibid.., Zainuddin, hal.78
[22] Ibid.., hal.78
[23] Ibid., Fatiyah Hasan Sulaiman, hal.78
[24] Ibid…,Zainuddin hal.81
[25] Ibid…, hal.83
[26] Ibid…, hal.86

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host