Thursday, December 22, 2011

KOMPETENSI GURU PASCA SERTIFIKASI

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Di era globalisasi yang ditandai dengan persaingan yang sangat ketat, menuntut semua pihak dalam berbagai bidang dan sector pembangunan senantiasa meningkatkan kompetensinya, tak terkecuali seorang pendidik. Peningkatan kualitas pendidik baik secara kuantitatif maupun kualitatif harus dilakukan secara terus menerus, sehingga pendidikan dapat menjadi wahana pembangun watak bangsa. Oleh karena itu pendidik sebagai main person harus ditingkatkan kompetensinya dan diadakan sertifikasi sesuai dengan pekerjaan yang diembannya.
Akan tetapi, kenyataan yang terjadi pada pendidikan di Indonesia belum menampakkan perubahan signifikan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kompetensi guru yang telah disertifikasi, pada kenyataannya belum menampakkan tugas keprofesionalitasannya. Sehingga kalangan program sertifikasi dipandang sebagai cara untuk mensejahterakan guru yang telah menjadi hajat kehidupannya selama ini.
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana hakikat kompetensi guru dan standar kompetensi guru?
2.    Bagaimana hakikat sertifikasi Guru?
3.    Bagaimana kompetensi guru pasca sertifikasi di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hakikat Kompetensi Guru Dan standar Kompetensi guru
Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dijelaskan bahwa: “kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.” Dari uraian ini nampak bahwa kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan. kompetensi guru menunjuk pada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas pendidikan.[1] Dikatakan rasional karena memiliki arah dan tujuan yang jelas, dan performance merupakan perilaku nyata.
Kompetensi merupakan komponen utama dari standar professional. Kompetensi diartikan sebagai perangkat perilaku efektif yang terkait dengan eksplorasi dan infestivigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien.[2] Kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial danspiritual secara kaffah membentuk kopetensi standar profesi guru, yang mencangkup penguasaan materi, pemahaman peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme. Adapun kompetensi yang harus dimiliki seorang guru adalah sebagaimana dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) (dalam E.Mulyasa:2007) berikut:
1.      Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelol pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai  potensi yang dimilikinya.
2.      Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantab, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan peserta didik, dan berakhlak mulia.
3.      Kompetensi professional
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar Nasional Pendidikan.
4.      Kompetensi sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Kompetensi guru diperlukan untuk menjalankan fungsi profesi serta mengembangkan dan mendemonstrasikan perilaku pendidikan. Untuk itu calon guru perlu dibekali dengan perangkat kompetensi yang dipersiapkan dengan sebaik-baiknya  dalam rangka untuk meningkatkan profesionalisme secara nasional yang menuntut standar kompetensi agar profesi tersebut berfungsi baik.
Dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas, 2003, Pasal 35 ayat 1) mengemukakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Dari sini Nampak jelas bahwa guru sebagai pengelola pembelajaran dituntut untuk memiliki standar kompetensi dan professional.
Standar kompetensi dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu spesifikasi teknis kompetensi yang dibakukan (BSN, 2001) yang disusun berdasarkan konsesus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan keselamatan, keamanan, kesehatan, iptek, perkembangan masa kini dan masa mendatang untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Standar kompetensi adalah proses pencapaian tingkat minimal kompetensi standar yang dipersyaratkan oleh suatu profesi. Standar kompetensi dalam program serifikasi guru lebih menekankan pada pemberian kompetensi yang dipersyaratkan untuk bekerja secara efektif ditempat tugas, yakni pendidikan. selain itu kompetnsi juga digunakan sebagai indicator dalam mengukur kualifikasi dan profesionalitas guru pada suatu jenjang dan jenis pendidikan (Depdiknas, 2004).
B.       Hakikat Sertifikasi Guru
Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dikemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian setifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sedangkan sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional. Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa sertifikasi guru adalah suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu setelah lulus uji coba kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi.[3]
Sertifikasi guru dimaksudkan sebagai upaya menjamin mutu guru agar tetap memenuhi standar kompetensi, diperlukan adanya suatu mekanisme yang memadai. Dan penjaminan mutu guru ini perlu dikembangkan secara komprehensif untuk menghasilkan landasan konseptual dan empirik melalui system sertifikasi.  Selain itu, sertifikasi guru merupakan pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi professional.
Adapun tujuan sertifikasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Wibowo (dalam E.Mulyasa:2007) sebagaimana berikut:
1.      Melindungi profesi pendidik dan tenaga kependidikan
2.      Melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten, sehingga merusak citra pendidik dan tenaga kependidikan.
3.      Membantu dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan, dengan menyediakan rambu-rambu dan instrument untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang kompeten.
4.      Membangun citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan.
5.      Memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
Sedangkan manfaat dari sertifikasi sebagaimana yang diungkapkan oleh E.Mulyasa (2007:35) adalah sebagai berikut:
1.         Pengawasan mutu
a.       Lembaga sertifikasi yang telah mengidentifikasi dan menentukan seperangkat kompetensi yang bersifat unik.
b.      Untuk setiap jenis profesi dapat mengarahkan para praktisi untuk mengembangkan tingkat kompetensinya secara berkelanjutan.
c.       Peningkatan profesionalisme melalui mekanisme seleksi, baik pada waktu awal masuk organisasi maupun pengembangan karir selanjutnya.
d.      Proses seleksi yang lebih baik, program pelatihan yang lebih bermutu maupun usaha belajar secara mandiri untuk mencapai peningkatan profesionalisme.
2.         Penjaminan mutu
a.         Adanya proses pengembangan profesionalisme dan evaluasi terhadap kinerja praktisi akan menimbulkan persepsi masyarakat dan pemerintah menjadi lebih baik terhadap organisasi profesi beserta anggotanya.
b.        Serifikasi menyediakan informasi yag berharga bagi para pelanggan yang ingin mempekerjakan orang dalam bidang keahlian dan keterampilan tertentu.

C.      Kompetensi Guru Pasca Sertifikasi
Survei yang dilaksanakan Persatuan Guru Repulik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi terhadap kinerja guru menyatakan bahwa kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi belum memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi. Harapan mereka adalah segera lolos sertifikasi berikut memperoleh uang tunjangan profesi (Jawa Pos, 7/10/2009). 
Dari hasil survei tersebut memperkuat dugaan sebagian besar masyarakat bahwa program sertifikasi tersebut hanya sekedar formalitas belaka. Tujuan dari sertifikasi belum tertuju dengan semestinya. Kebanyakan guru masih bertujuan untuk memperoleh tunjangan profesi yang jumlahnya lumayan besar dan dilakukan dengan berbagai cara untuk mencapainya, baik dengan cara yang semestiya atau mengambil jalan pintas.
Kerja keras guru hanya terlihat saat mengikuti tes sertifikasi. Lain halnya pada waktu pasca sertifikasi, kemampuan dan kualitas guru sama saja. Dengan kata lain, dengan adanya atau tanpa sertifikasi, kondisi dan kemampuan guru sama saja. Mununjukan indeks statis tanpa ada peningkatan signifikan pada kualitas diri dan pembelajaran di sekolah.
Begitu banyak guru yang telah tersertifikasi sejak tahun berlaku 2006 hingga 2011 ini. dan yang menjadi catatan kritis yang mengacu dari proses sertifikasi selama ini yang perlu terus dikemukakan sebagai pengingat. Pertama, sertifikasi berpotensi menjadi komersialisasi sertifikat. Para guru hanya berorientasi pada selembar sertifikat/portofolio. Bahkan, para guru berani membayar berapa pun untuk ikut kegiatan seminar atau workshop pendidikan, meski hasilnya tak sesuai dengan harapan. Tujuan utama sertifikasi, yakni meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, akhirnya memudar.
Kedua, bermunculan berbagai lembaga penyedia jasa seminar atau workshop yang tidak jelas. Mereka mencari para guru yang berorientasi pada sertifikat sebagai lampiran dalam portofolio. Bahkan, tidak sedikit lembaga penyedia sertifikasi instan yang memanfaatkan antusiasme guru yang berorientasi pada selembar sertifikat. Tapi, kegiatan riilnya tidak jelas.
Ketiga, selama ini sertifikasi guru hanya didominasi dan dimonopoli guru PNS. Sedangkan guru swasta cenderung dianak tirikan. Seharusnya, pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam kebijakan sertifikasi. Guru swasta mempunyai hak sama untuk mendapatkan sertifikasi guna meningkatkan kualitas dan kompetensi, juga tunjangan. 
Keempat, ternyata kebijakan sertifkasi bagi guru cenderung berorientasi pada harapan kenaikan tunjangan, bahkan sekadar formalitas yang ditunjukkan dengan sebuah portofolio. Kadang portofolio itu juga bermasalah dalam pengajuannya. Portofolio bisa saja dipermainkan oleh guru yang hanya mengejar kenaikan tunjangan. Dengan begitu, tujuan awal sertifikasi, yaitu menghasilkan standardisasi dan kualifikasi guru yang kapabel dan kredibel, pudar. Penilaian terhadap kualitas dan kompetensi guru yang diwujudkan dalam portofolio tersebut berpotensi subjektif. 
Kelima, sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan an sich. Sudah beberapa kali gaji tunjangan guru dinaikkan, tapi hasil dan kinerja mereka masih rendah saja. Uang miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk program sertifikasi itu bisa sia-sia karena tak berbekas pada peningkatan kualitas pendidik dan pengajaran.
Melihat dari hal-hal diatas, maka perlu adanya perbaikan dari system program sertifikasi tersebut. Adapun menurut Hujair AH. Sanaky dalam makalahnya Kompetensi dan Sertifikasi Guru “Sebuah Pemikiran” menyarankan:
1.      Sasaran sertifikasi guru, harus bersifat obyektif. Sertifikasi dilaksanakan untuk semua guru, baik dari guru lama maupun calon guru, baik PNS maupun guru swasta, sehingga tidak terjadi kesenjangan di antara para guru. Dan pemberian sertifikat harus ditujukan kepada guru yang benar-benar berkompeten.
2.      Proses sertifikasi para guru sebaiknya ditangani oleh lembaga badan independen yang kompetensi dan obyektif. Semisal Lembagan Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan ilmu pendidikan dan keguruan, memiliki kewenangan dan pengalaman dalam pengadaan tenaga kependidikan serta memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang kependidikan dan non kependidikan. Lembaga tersebut harus didukung dengan berbagai sarana kependidikan seperti sekolah laboratorium, pusat sumber belajar dan lainnya.
3.      Agar sertifikasi itu dapat menunjukkan kemampuan dan keterampilan guru dalam mengajar, maka uji kompetensi dan sertifikasi harus dilakukan secara ”by proses” bukan secara “instan”. Artinya, bagi para guru yang berasal dari ”fakultas keguruan” sebelum diuji perlu disegarkan kembali pada aspek ”materi keilmuan”, ”keterampilan dan strategi mengajar”. Sedangkan bagi guru-guru yang berasal dari nonkependiddikan, sebelum uji kompetsnsi dan sertifikasi, perlu dilakukan pelatihan atau mengambil pendidikan profesi keguruan.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Sedangkan sertifikasi adalah proses pemberian setifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional.
Kompetensi guru pasca sertifikasi masih belum menampakkan perubahan yang signifikan bahkan lebih cenderung statis. Dari hal ini yang perlu dikritisi dari penyelenggaraan program sertifikasi selama ini yakni: [1]. Sertifikasi berpotensi menjadi komersialisasi sertifikat. [2]. Bermunculan berbagai lembaga penyedia jasa seminar atau workshop yang tidak jelas. [3]. Selama ini sertifikasi guru hanya didominasi dan dimonopoli guru PNS. [4]. Kebijakan sertifkasi bagi guru cenderung berorientasi pada harapan kenaikan tunjangan, [5]. sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru.
Untuk pemerbaikan system penyelenggaraan program sertifikasi guru maka dalam penyelenggaraannya harus bersifat obyektif dan selektif serta di selenggarakan oleh lembaga badan independen yang benar-benar berkompetensi. Dan untuk kejelasan kompetensi yang dimiliki guru, perlu dilakukan dengan cara by proses bukan secara instan.

Oleh: Almas Akbar

DAFTAR PUSTAKA
E.Mulyasa. 2007. Standar kompetensi dan sertifikasi guru. Bandung: PT. Rosda Karya
Hamalik Oemar. 2002. Pendidikan Guru. Jakarta: Bumi Aksara
Muslich. Mansur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara


[1] E. Mulyasa, Standar Kompetensi Dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007) hal.26
[2] Ibid,.
[3] Ibid,. hal. 34

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host