Monday, May 16, 2011

AGAMA DAN IDEOLOGI DAN TEOLOGI PEMBEBASAN DALAM PANDANGAN ISLAM MENURUT ASGHOR ALI ENGINNER

Ali Ali Asghor Enginner yang lahir di India tersebut meyakinkan bahwa untuk membebaskan umat dari ketertindasan oleh kaum-kaum kapitalis dan kaum elitis dapat dikembalikan pada konsep dasar ajaran agama. Sesungguhnya esensi Agama dan diturunkannya seorang Rosul kepada umatnya untuk membebaskan umatnya dari ketertindasan yang dilakukan oleh para penguasa.
Agama dan pembebasan merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Agama adalah pembebasan itu sendiri. Dan para Nabi merupakan sang revolusioner sejati. Zainul Haque dalam dalam relevansi dan revolusi islam, sesua yang disebutkan Al-qur’an ada tiga tujuan diutusnya Nabi kepada umatnya, pertama, untuk menyatakan kebenaran. Kedua, berperang melawan kepalsuan dan penindasan. Dan yang ketiga, membangun sebuah komunitas berdasarkan kesetaraan social, kebaikan, keadilan dan kasih sayang.
Berdasar tujuan diatas, bahwa Allah mengutus Nabi-Nya sebagai sosok yang revolsioner, anti penindasan dan membela yang tertindas. Pembebasan ekonomi, social dan politik, pembebasan manusia dari deskriminasi dan dehumanisasi.
Al-qur’an menerangkan fenomena-fenomena dari kondisi yang dialami Nabi-nabi, seperti Nabi Musa yang membebaskan kaum yahudi yang tertindas oleh kesemenaan fir’aun sang penguasa, Nabi Ibrohim yang menghancurkan patung sesembahan untuk memerangi tahayul. Dan nabi Muhammad SAW yang revolusioner untuk segala umat datang untuk membebaskan masyarakat dari penderitaan, tahayul, penindasan, perbudakan dan ketidak adilan.pembebasan dilakukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia serta memberikan kebebasan berpikir dan berbuat. Jadi Islam adalah agama dalam pengertian teknis dan social revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal, kesetaran, dan keadilan social (Asghor Ali Engginer. 2009:I). Pertama, Islam menekankan kesatuan manusia. Kedua, Islam menekankan pada keadilan di semua aspek kehidupan. Dan keadilan takkan tercipta tanpa pembebasan terhadap masyarakat lemah yang tertindas. Maka benar kiranya Nabi Muhammad SAW diutus dengan misi memperkenalkan Tuhan tidak dalam ajaran ketuhanan, karena masyrakat pada waktu itu telah mengenal Tuhan, melainkan lebih mengutamakan pada akhlak atau rasa humanism, keadilan ekonomi, dan social.dan ajaran-ajaran yang seperti inilah yang mengancam kelas penguasa (sstatus quo)[1]
Namun demikian, setelah wafatnya Rosulullah SAW terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan pribadi yang menginginkan status quo, Islam yang sebagai agama yang revolusioner menjadi sbuah agama yang beorientasi pada aspek-aspek ritual dan dan peribadahan dalam hubungan antara Allah dan mausia. Dan hal ini diperparah lagi dengan persinggungan antara Islam dan ilmu pengetahuan Yunani yang menyebabkan kalangan elitis Islam semakin bersemangat melakukan intelektual exercise yang bersifat spekulatif  yang hanya menguntukan sebagian kecil elit intelektualis. Dan teologi Islam yang sebenarnya sangat dekat dengan masalah keadilan social-ekonomi, mulai mengalihkan perhatian pada masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Dan hal ini membagi masyarakat menjadi dua kelompok, yakni kaum teolog dan masyarakat awam.[2]
Dengan demikian, menurut Engineer untuk mengembalikan Agama dianggap sebagai kebaikan dan berpihak kepada revolusi, kemajuan, juga perubahan, maka aspek-aspek teologi yang bersifat filosofis, intelektualistik, metafisis yang sarat akan ambiguitas harus diubah dan diganti. Dimana doktrin-doktrin teologis harus dibaca ulang dan dimaknai dalam makna-makna revolusioner-transformatif. Dalam pembacaan dan pemaknaan ulang ini, Khudori Soleh[28], mengutip dari Hassan Hanafi diperlukan; pertama, analisa bahasa, dimana istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan yang empirik-rasional. Kedua, analisa realitas, hal ini berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orientasi teologi kontemporer.
Untuk merubah teologi klasik menjadi teologi praksis yang sarat dengan pembebasan diperlukan beberapa hal; pertama, konsep keimanan. Iman tidak hanya percaya tentang adanya Tuhan saja, tetapi juga mempunyai implikasi secara sosiologis. Dalam arti, dapat dipercaya, berusaha menciptakan kedamaian, ketertiban, memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan. Engineer mengatakan bahwa iman membuat orang menjadi bisa dipercaya, diandalkan dan cinta damai. Tanpa iman, pendapat seseorang menjadi kosong dan tidak berakar pada kedalaman pribadinya. Maksudnya, kata-kata dan gagasan hanya akan berarti bagi dirinya sendiri, dan akan memperbudak orang lain. Itulah yang namanya keyakinan dengan segala implikasi nilai-nilainya yang membuat kata dan pola pikir menjadi bermanfaat, bukan malah menjadi struktur yang menindas.
Menurut Engineer, agama dapat menjadi candu atau sebaliknya menjadi kekuatan yang revolusioner tergantung pada dua hal; pertama, realitas kondisi sosio-politik. Dan kedua, tergantung pada subyek yang bersekutu dengan agama, kaum revolusioner atau pro status quo[3]. Artinya, performa agama sangat tergantung pada subyek yang memaknainya dalam relasinya dengan realitas sosio-politis yang dihadapi. Agama tak ubahnya sebuah ideologi yang akan sangat dideterminasi oleh aktor yang mengendalikan. Bila dimaknai sebagai sesuatu yang transformatif dan progresif, maka agama pun akan tampil demikian, begitu juga sebaliknya. Namun, prinsip mendasar dari agama adalah bahwa ia merupakan garda depan bagi usaha-usaha transformatif-progresif dan gerakan-gerakan revolusioner untuk membela kaum tertindas.
Agama yang mempunyai fungsi pembebas ini harus benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan praktis. Maka umat Islam harus dapat memfungsikan Islam dalam kehidupan bermasyakarat melalui nilai-nilai dasarnya. Tanpa melalui fungsionalisasi nilai-nilai unversal Islam yang demikian, sebagai institusi sosial Islam akan menjadi agama yang tidak produktif dan tidak relevan dengan dinamika dan problematika yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, reposisi Islam sebagai rahmatan lil ’alamin sudah seharusnya tidak hanya ditempatkan pada individual salvation yang peduli pada kenikmatan spiritual (spiritual hedonism) bagi individual saja, tetapi juga harus peduli terhadap kehidupan sosiologis masyarakat. Oleh karena itu, umat Islam perlu menunjukkan moralitas agama sebagai ”spirit” dan ”agen” perubahan, di samping menjadikan keadilan sosial sebagai paradigma agama. Disinilah makna teologi pembebasan yang menjadikan ruh agama sebagai sandaran dalam membebaskan manusia dari segala keterbatasan yang menghambat pengembangan potensi manusia.
Islam agar dapat dipahami sebagai suatu kesadaran praktis, harus dijadikan sebagai kerangka ideologi, karena hanya dengan cara ini Islam akan mampu menjadi kekuatan pembebasan dan revolusioner. Hal ini diamini oleh Ali Syari’ati, menurutnya menjadikan Islam sebagai ideologi berarti memahami Islam sebagai suatu gerakan kemanusiaan, historis, dan intelektual, sehingga ia akan mampu memberikan elan progresivitas praksis bagi penganutnya sekaligus akan menjalankan misinya dalam memberikan pengarahan, tujuan, dan cita-cita serta rencana praksis sebagai dasar perubahan dan kemajuan kondisi sosial yang diharapkan.[4]
Seperti yang diungkapkan Hassan Hanafi, Islam memiliki nilai transformatif karena tidak sekedar dogma, ritus, dan kepercayaan saja, tetapi juga merupakan etika, wawasan kemanusiaan, dan ilmu sosial.[5] Hanafi juga menekankan pentingnya memunculkan agama dalam wajah pembebasan yang berangkat dari dogma (keyakinan) menuju revolusi. Dari kerangka ini umat Islam dituntut untuk menjadikan Islam sebagai sebuah spirit teologi pembebasan. Corak Islam pembebasan inilah yang oleh Hanafi disebut sebagai Kiri Islam, yaitu teologi kultural yang dianggap mampu membebaskan rakyat jelata dari cengkeraman kaum feodal beserta seperangkat struktur kapitalistiknya. Pemikiran semacam ini perlu mendapat perhatian serius karena memiliki nilai transformatif yang tinggi. Nilai transformatif itu dapat dilihat dalam upaya menjadikan Islam sebagai landasan moral dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan untuk membebaskan kaum pinggiran dari hegemoni kaum feodal dan kalangan mayoritas serta membebaskan mereka dari rezim yang diktator.




Daftar Refrensi
Enginner, Ali Asghor. 2009. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hanafi, Hasan. 2001. Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela Press
Syari’ati, Ali. 1995. Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi. Bandung: Mizan
Agoes. Menuju Teologi Pembebasan A.Asghor Enginner (makalah)


[1] Agoes,.  Menuju Teologi Pembebasan A. Asghor Enginner.
[2] Asghar Ali Angineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),.hlm. ix
[3] Asghar Ali Angineer, Op. Cit., hlm. 30

[4] Ali Syari’ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 18
[5] Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela Press, 2001), hlm. 43

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host