Monday, March 21, 2011

TEOLOGI PEMBEBASAN


Oleh: Almas Akbar
            Teologi pembebasan merupakan kata majemuk dari kata teologi dan pembebasan. Secara etimologi telogi berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos  yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi dari istilah pembangunan yang kemudian menjadi ideology pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik. Teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup social. yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang terjadi disekitarnya.
Sejarah Kemunculan Teologi Pembebasan
            Adalah fakta bahwa kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketertindasan, ketidakadilan, dan semacamnya hingga tingkat tertentu masih merupakan realitas keseharian yang mengikat berbagai bangsa terutama pada Negara-negara yang berkembang. Teologi pembebasan muncul pertama kali di Eropa pada abad ke-20 dan menjadi studi yang penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama untuk membebaskan manusia dari ancaman globalisasidan membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan ideologi dari perbuatan manusia sendiri (Wahono, 2000 : I). perkembangan teologi pembebasan di Eropa lebih pada pemikiran, sedangkan di Amerika Latin dan Asia pada pemikiran ke gerakan untuk melawan hegemoni kekuasaan yang otoriter. Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan bagian dari gerakan para agamawan melawan hegemoni kekuasaan negara otoriteriter.
            Kehadiran teologi pembebasan pada awalnya adalah untuk mengkritisi model “pembangunan”  yang dilakukan oleh Negara terhadap rakyatnya.pembangunan yang dilakukan oleh Negara yang didukung oleh intuisi yang kuat, sepert militer dan intuisi agama yang semata-mata melegitimasi kepentingan Negara. Secara ringkas, apa yang dimaksud dengan paham itu sebenarnya adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.
   Sejak depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan barang pabrik di dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.
Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar --kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin.
Kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Dalam literatur sosiologi dan ekonomi politik, penerapan sistem kapitalisme dalam pembangunan di Amerika Latin telah melahirkan pemikir-pemikir baru di bidang sosiologi dan ekonomi politik. Misalnya Andre Gunder Frank--orang Amerika Serikat yang pernah tinggal di Amerika Latin--dan Fernando H. Cardoso. Dengan menggunakan pendekatan neomarxis, mereka melahirkan teori dependensi (ketergantungan) dalam memandang nasib negara-negara di Dunia Ketiga. Selama ini, kata mereka, modernisasi di negara-negara Amerika Latin dan negara Dunia Ketiga lainnya justru melahirkan para penguasa mapan, pemilik modal besar, tuan tanah, dan kaum elite yang mengeksploitasi rakyat.
Bantuan negara maju dalam proses modernisasi --yang justru membuat Dunia Ketiga begitu bergantung pada negara maju juga memberi andil besar dalam memiskinkan rakyat Dunia Ketiga. Mereka para penganut teori dependensi berpendapat, untuk mengakhiri kekuasaan para elite yang mapan, juga dominasi negara maju, dibutuhkan revolusi sosialis. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka beranggapan, diperlukan penjungkirbalikan struktur ekonomi, politik, dan sosial dengan meminjam pendekatan marxis.
Realitas keagamaan pada abad modern telah mencapai titik yang memprihatinkan . sejak munculnya fenomena modernitas, Agama yang berada di masyarakat sebagai etos rasionalitas telah beralih ke pinggiran wacana modern. Di ujung abad ke-20 secara serentak menggemparkan, tampil sebagai kekuatan revolusioner yang mampu mengemban amanat kaum tertindas, dan menumbangkan rezim-rezim penguasa yang menindas. Dengan kemunculan revolusi Iran, America latin dan Libya dan yang baru-baru ini muncul di timur tengah membelalakan mata dunia dan secara massif berjasa mematahkan klaim-klaim negative terhadap agama. Yang mana agama yang dulu sebagai  perselingkuhan penguasa dalam mempertahankan setatus quo. Dan menurut Asghor Ali Enginer  Agama dapat menjadi kekuatan revolusioner tergantung pada dua hal: pertama: Realitas Sosio-politik. Artinya perfoma agama sangat bergantung dari subyek yang memaknainya dalam merealisasikan dengan realitas social-politik yang dihadapi. Kedua, tergantung dari Subyek yang  bersekutu dengan Agama, ataukah pro terhadap status quo atau kaum revolusioner.
Islam Sebagai Teologi Pembebasan
Agama dan pembebasan merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Agama adalah pembebasan itu sendiri. Dan para Nabi merupakan sang revolusioner sejati. Zainul Haque dalam dalam relevansi dan revolusi islam, sesua yang disebutkan Al-qur’an ada tiga tujuan diutusnya Nabi kepada umatnya, pertama, untuk menyatakan kebenaran. Kedua, berperang melawan kepalsuan dan penindasan. Dan yang ketiga, membangun sebuah komunitas berdasarkan kesetaraan social, kebaikan, keadilan dan kasih sayang.
Berdasar tujuan diatas, bahwa Allah mengutus Nabi-Nya sebagai sosok yang revolsioner, anti penindasan dan membela yang tertindas. Pembebasan ekonomi, social dan politik, pembebasan manusia dari deskriminasi dan dehumanisasi.
Al-qur’an menerangkan fenomena-fenomena dari kondisi yang dialami Nabi-nabi, seperti Nabi Musa yang membebaskan kaum yahudi yang tertindas oleh kesemenaan fir’aun sang penguasa, Nabi Ibrohim yang menghancurkan patung sesembahan untuk memerangi tahayul. Dan nabi Muhammad SAW yang revolusioner untuk segala umat dating untuk membebaskan masyarakat dari penderitaan, tahayul, penindasan, perbudakan dan ketidak adilan.pembebasan dilakukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia serta memberikan kebebasan berpikir dan berbuat. Jadi Islam adalah agama dalam pengertian teknis dan social revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal, kesetaran, dan keadilan social (Asghor Ali Engginer. 2009:I). Pertama, Islam menekankan kesatuan manusia. Kedua, Islam menekankan pada keadilan di semua aspek kehidupan. Dan keadilan takkan tercipta tanpa pembebasan terhadap masyarakat lemah yang tertindas. Maka benar kiranya Nabi Muhammad SAW diutus dengan misi memperkenalkan Tuhan tidak dalam ajaran ketuhanan, karena masyrakat pada waktu itu telah mengenal Tuhan, melainkan lebih mengutamakan pada akhlak atau rasa humanism, keadilan ekonomi, dan social.dan ajaran-ajaran yang seperti inilah yang mengancam kelas penguasa (sstatus quo).
Hal ini senada dengan ajaran Ali Syari’ati dalam tiga tahap idiologi. Pertama , cara meliahat dan menangkap alam semesta, eksistensi dan manusia. Kedua, cara khusus untuk memahamidan menilai sebuah benda dan gagasan atau ide-ide yang membentuk lingkungan social mental kita. Ketiga, mencangkup usulan-usulan, metode-metode dalam pendekatan dan pengubahan status quo.
Bagi Enginner, dalam menciptakan teologi revolusioner diperlukan kesadaran praksis social. Karena agama yang hanya terhenti pada dataran intelektual dan ritualitas semata akan menimbulkan kemandulan dalam teologi pembebasan. Dan menurut Gutierrez, teologi sebagai critical reflektion on praxis. Karena dalam menuju perubahan social, yakni teologi yang mampu menjadi perangkat ideology bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan dan eksploitasi.


Kotagede, 20/03/2011

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host