Thursday, January 5, 2012

PENDIDIKAN KARAKTER


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan karakter yang merupakan satu dari sekian banyak paradigma pendidikan di Indonesia, kini semakin ramai dibahas sejak dicanangkannya gerakan pendidikan karakter. Wacana ini menjadi hangat dan banyak tulisan-tulisan atau artikel bahkan buku yang membahas tentang pendidikan karakter yang diharapkan dapat menjadi suatu praktek pendidikan yang bisa mengupayakan adanya perubahan dalam masyarakat yang lebih baik. Kemunculan pendidikan karakter sebagaimana paradigma pendidikan lain, dilatarbelakangi oleh konstruksi filosofis yang berdiri di belakangnya.
Kemudian muncul pula bagaimana konsep pendidikan karakter dan apa   sebenarnya urgensinya bagi pendidikan di Indonesia, serta bagaimana pendidikan karakter tersebut bisa diterapkan di lingkungan sekolah, di keluarga, atau di masyarakat. Hal itulah yang akan dibahas dalam makalah ini.

RUMUSA MASALAH
1.      Apakah Pengertian karakter ?
2.      Apa saja Teori pengembangan karakter ?
3.      Bagaimana Metode Pendidikan Karakter  ?
4.      Apa Tahap-Tahap Pembentukan Karakter ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN KARAKTER
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.[1]
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi foerester, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Kararketr menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematagan karaker inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin, mangandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan ( knowing the good ), mencintai kebaikan ( loving the good ), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu sering kali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian, maka pendidikan karakter adalah sebuah kehausan. Inilah awal pendidikan karakter.

B.     TEORI PENGEMBANGAN KARAKTER
Sebagai dasar acuan dalam merumuskan konsep pendidikan karakter dalam Islam ialah QS. Ar-Rum (30): 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dari ayat di atas dapat ditarik benang merah bahwa bawaan dasar (fitrah) manusia dan proses pembentukan karakternya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1) fatalis-pasif (2) netral-pasif  (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[2]
1.      Aliran yang berpandangan fatalis-pasif, mempercayai bahwa setiap individu karakternya baik atau jahat melalui ketetapan Allah. Faktor-faktor eksternal, termasuk paradigma pendidikan karakter tidak begitu berpengaruh karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Karakter positif atau negatif seseorang telah ditentukan lebih dahulu sebelum dia lahir ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah.
2.      Pandangan netral-pasif, yakni anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong. Sama halnya dengan teori tabularasa yang dikemukakan John Lock bahwa manusia lahir seperti kertas putih tanpa ada sesuatu goresan apa pun. Manusia berpotensi berkarakter baik dan tidak baik itu karena mendapat pengaruh dari luar terutama orang tua. Pengaruh baik dan buruk tersebut akan terus mengiringi kehidupan setiap insan dan karakter yang terbentuk tergantung mana yang dominan memberi pengaruh. Jika pengaruh baik lebih dominan, maka seseorang akan berkarakter baik, begitu pula sebaliknya apabila yang lebih dominan adalah pengaruh buruk, maka karakter yang terbentuk karakter tidak baik. Pandangan ini mengambil argumen dari QS. Al-Nahl (16):78
 “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
3.      Aliran positif-aktif yakni bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan lingkunganlah yang membelenggu manusia sehingga ia menjauh dari sifat bawaannya.
4.      Aliran dualis-aktif yakni manusia memiliki dua sifat ganda yang sama kuatnya. Sifat baik dan buruk. Tergantung kedekatan manusia terhadap lingkungan yang baik  atau buruk. Jika ia dekat dengan teman yang berkarakter baik, maka seseorang tersebut akan mengambil sifat baiknya, dan sebaliknya. Penanaman kebiasaan positif amat penting untuk diupayakan sejak kecil agar karakter atau sifat baik lebih kuat.
Dasar pembentukan karakter adalah nilai baik (disimbolkan sebagai nilai malaikat) atau buruk (disimbolkan sebagai nilai setan). Karakter manusia  merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (setan).[3]
Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual yang berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga,  sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif atau nilai-nilai material) yang berfungsi sebagai pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari: Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu  berupa  kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu  pikiran jahiliyah (pikiran sesat),  qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, seks dan kekuasaan (thâghût). Ketiga,  sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.[4]





C.    METODE PENDIDIKAN KARAKTER

Penerapan pendidikan karakter harus dilakukan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, perlu adanya metode. Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia, fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb.[5]
1.      Metode Tilâwah
Untuk mengembangkan kemampuan membaca, tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena.menyangkut kemampuan membaca.
2.       Metode ta’lim
Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal (pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient)). Yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran.
3.      Metode tarbiyah
Menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh. Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah
4.      Metode ta’dîb
Untuk mengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient).
5.      Metode tazkiyah
Untuk mengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Berfungsi juga untuk mensucikan jiwa.
6.      Metode tadlrib
Metode tadlrîb (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik (physical quotient atau adversity quotient). Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil.
Selanjutnya, di sekolah pendidikan karakter yang diterapkan semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya.
Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Relasi guru dengan siswa bukan monolog, melainkan dialog, sehingga siswa itu berkesempatan untuk mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya. Baik itu masalah materi pelajaran maupun hal-hal yang non pelajaran. Misalnya tentang manajemen kelas, yang membantu terciptanya suasana kelas yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, tidak konsisten, dan tidak efektif.[6]
Sekolah sebagai institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan rasa tanggungjawab dan pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan. Sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas.
Sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.
Di Indonesia, dimana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari tingkat kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri (kognitif), yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.
Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali ketidakonsistenan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian, seperti yang telah dipaparkan pada sub bab di atas, peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Menurut Lickona, terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik; (2) mendefinisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter; (4) menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) memberi siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) membuat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil; (7) mengusahakan mendorong motivasi diri siswa; (8) melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa; (9) menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter; (10) melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter; (11) mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai- nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat.
7.      TAHAP-TAHAP PEMBENTUKAN KARAKTER
Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pada dasarnya setiap orang sudah memiliki potensi atau kemampuan yang ada sejak ia dilahirkan.potensi-potensi itulah yang menjadi bekal untuk pembentukan karakter dirinya. Sedangkan pembentukan karakter selain didorong faktor bawaan, tidak terlepas pula oleh faktor lingkungan yang juga memiliki pengaruh cukup besar bagi pembentukan karakter seseorang.
Karakter mulai terbentuk ketika seseorang masih kecil. Lingkungan yang pertama dilihat oleh seseorang pasca lahir adalah keluarga. Maka peran keluarga dalam pembentukan karakter menjadi yang pertama dan utama. Terutama pendidikan yang diberikan oleh orang tua, khususnya ibu. Dalam falsafah Jawa kita mengenal istilah guru yang merupakan singkatan dari digugu lan ditiru. Guru dalam ranah keluarga adalah kedua orangtua. Sehingga apapun perkataan, perbuatan atau sikap dari orangtua akan diikuti oleh anak, entah itu baik maupun buruk. Sebab ketika seseorang berada pada masa anak-anak, pendidikan yang dominan adalah keteladanan. Ucapan dan tindakan dari orangtua yang itu termasuk hal yang baik atau buruk, secara langsung ataupun tidak langsung akan membentuk karakter si anak sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk keagamaan. Orangtua yang menanamkan nilai-nilai agama pada anak, misalnya sering mengajak sholat, mengajari membaca Al-Quran, mengenalkan Allah, mendorong untuk cinta kepada Muhammad, maka anak cenderung akan terbentuk karakter orang yang religius. Orangtua yang sering mengajarkan kebaikan, bertutur kata yang lemah lembut, dermawan pada orang lain, maka karakter si anak cenderung baik. Akan tetapi jika orang tua berkata atau bersikap yang tidak baik, apalagi sering bertengkar di depan anak, maka dalam diri seorang anak akan terbentuk karakter yang tidak baik.
Proses pembentukan karakter atau kepribadian terdiri atas tiga taraf, yaitu pertama, pembiasaan. Tujuannya untuk membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian, atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu (pengetahuan hafalan). Contohnya antara lain membiasakan puasa dan sholat. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat. Setelah melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau pengetahuan tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan yang luhur. Pembentukan ini menanamkan kepercayaan yang ada pada rukun iman. Hasilnya seseorang akan lebih mendalami apa yang dilakukan atau diucapkan sehingga meningkatkan tanggungjawab terhadap setiap apa yang dikerjakan.[7]
Pendidikan karakter atau kepribadian memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan knowing the good (mengetahui hal yang baik), feeling the good (merasakan hal yang baik), desiring the good (merindukan kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting the good (melakukan kebaikan). Materi pendidikannya tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat afektif, tetapi juga yang berkaitan dengan kognitif dan psikomotor.[8]
1.      Knowing the good
Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasann
2.       Feeling the good
Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.
3.      Acting the good
Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya himbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Jadi ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Konsep yang dibangun, adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak percaya diri.

BAB III
KESIMPULAN

Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Ketika ketiga hal tersebut dapat berjalan beriringan, maka akan terbentuk karakter seseorang yang bisa baik atau buruk.
Teori pengembangan karakter dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1) fatalis-pasif (2) netral-pasif  (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif. Proses pembentukan karakter atau kepribadian terdiri atas tiga taraf, yaitu pertama, pembiasaan. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat. Setelah melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau pengetahuan tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan yang luhur.
Pendidikan karakter atau kepribadian memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan knowing the good (mengetahui hal yang baik), feeling the good (merasakan hal yang baik), desiring the good (merindukan kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting the good (melakukan kebaikan).
Metode penerapan pendidikan karakter antara lain: metode tilâwah, metode ta’lîm’, metode tarbiyah, metode ta’dîb, metode tazkiyah dan metode tadlrîb. Penerapan pendidikan karakter dapat dilaksanakan di keluarga, di sekolah, di masyarakat, bahkan negara dengan tujuan yang sama, yaitu membentuk karakter seseorang sebagai bekal di kehidupan masa depan. Namun, dimanapun pendidikan karakter itu diterapkan, penerapan di keluargalah yang paling penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter seseorang. Penanaman nilai-nilai seperti nilai agama, nilai sosial, akan lebih menancap di sanubari seseorang ketika masih berada di lingkungan keluarga. Karena karakter seseorang akan lebih mudah dibentuk ketika masih dalam usia anak-anak

 
DAFTAR PUSTAKA

Ihsan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan: komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta. 2005
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al-Ma’arif. 1974
Siregar, Maragustam. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna: Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha Litera. 2010.
Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1. Ayat 1


[1]Tobroni, M.Si. “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam” dalam website http://tobroni.staff.umm.ac.id/., 24 November 2010

[2] Maragustam Siregar, “Pemikiran Al-Zarnuji dalam Kitab Ta’li Al-Muta’allim tentang Pendidikan Islam ( Telaah dalam Perpektif Filsafat Pendidikan)”http://maragustamsiregar.wordpress.com/ 8 Juni 2010
[3] Tobroni, M.Si. “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam” dalam website http://tobroni.staff.umm.ac.id/, 24 November 2010
[4] Ibid
[5] Maragustam siregar, “konsep pendidikan islam” dalam website http: //maragustamsiregar.wordpress.com/8 juni 2010

[6] “ Pendidikan Karakter Integral” dalam website http://edukasi.kompas.com/., 11 Februari 2010

[7] Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al-Ma’arif. 1974. hlm. 81-88

[8] Maragustam Siregar. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna: Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha Litera. 2010. Hlm. 126-127

Oleh: Salamat Panjaitan

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host