Oleh: Almas J Akbar dkk.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Biografi Al-Ghazali?
2.
Bagaimana Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali atau lebih dikenal
dengan panggilan Al-Ghazali lahir di Thusia, sebuah Kota Khurasan, Persia yang
sekarang dikenal berada di dekat kota Meshed Iran pada tahun 450H/ 1058M pada
masa dinasti Seljuk yang baru saja memantapkan kedudukannya di Baghdad. Ayahnya
yang seorang penenun wol seorang yang tergolong miskin. Namun demikian ia
memikirkan pendidikan anaknya sehingga mampu menyisihkan sejumlah uang untuk
pendidikan putranya. Menjelang wafat, ayah Al-Ghazali menitipkan putranya,
kepada teman sufinya untuk diasuh dan disempurnakan pendidikannya
setuntas-tuntasnya. Sekalipun menghapuskan harta warisannya. Dan ia berharap
agar kehidupan putranya kelak tak diliputi rasa menyesal karena minimnya ilmu
pengetahuan sebagaimana ayahnya.
Sejak kecil Al-Ghazali terkenal akan kecintaannya
terhadap ilmu pengetahuan dan kegigihannya dalam mencari ilmu. Maka tidak mengherankan
jika dalam masa usia yang masih kanak-kanak ia telah belajar dengan sejumlah
guru di tanah kelahirannya yang diantaranya adalah Ahmad Ibn Muhammad
Al-Radzikani, seorang faqih. Dan ia
pun tanpa segan belajar dengan guru-guru di daerah lain yang jauh dari tanah
kelahirannya, untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya, ia berhijrah ke Naisabur
dan belajar pada Imam Al-Juwaini (Imam Al-Haromain). Dan darinya ia belajar ilmu
kalam, ilmu Ushul dan ilmu pengetahuan agama yang lainnya.
Atas kecerdasannya dan kesanggupannya dalam mendebat
segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih, Imam Al-Juwaini
memberikan predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan
“Laut yang menenggelamkan (bahrun mughriq).”
Sepeninggal Al-Juwaini pada tahun 478H/1085M, Al-Ghazali menuju Baghdad dan
menjadi guru besar pada tahun 483H/1090M di universitas yang didirikan Nidham
Al-Mulk seorang perdana menteri Sultan Bani Saljuk. Selama ia di Baghdad,
selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran
golongan bathiniah, ismailiyah, filsafat dan lain-lainnya.[1]
Dan ditengah-tengah kesibukkannya tersebut dengan kreatif ia sempat mengarang
beberapa kitab pengetahuan antara lain Al-Basith,
Al-Wajiz, Khulasoh Ilmu Fiqh, Al-Munqil fil ilmi al-Jadal, Ma’khaz Al-Kalaf,
Lubab Al-Nadzar, Tahsin Al-Ma’akhidz, dan
Mamadi’ wa Al-Ghayat fi fan Al-Khalaf .[2]
Sebenarnya Al-Ghazali telah menelan seluruh paham,
aliran, dan ajaran-ajaran firqoh, thaifah dan filsafat. Semua itu menimbulkan
pergolakan dalam otaknya sendiri, karena tidak ada yang memberikan kepuasan
batinnya, sehingga ia ragu akan kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada
Allah, apalagi untuk mengetahui hakikatnya.[3]
Dan selama itu ia menderita penyakit keragua-raguan yang tak terobati dengan
obat lahiriyah (psikoterapi), sehingga ia memutuskan untuk berhenti pada tahun
488H dan menuju Damsyik, dan dikota ini ia merenung , membaca dan menulis
selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.[4]
Dan kemudian dilanjutkan ke Palestina. Disini ia pun merenung, membaca menulis
di Masjid Baitul Maqdis. Setelah itu, menunaikan ibadah haji dan kemudian
menetap di Syams. Dari sini ia bertolak ke Baghdad lalu ke Naisaburi dan
bertugas sebagai guru. Tetapi tidak lama setelah itu ia kembali ke tanah
kelahirannya hingga wafat pada tahun 505H/1111M setelah mengabdikan diri untuk
ilmu pengetahuan dan memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya.
B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali memaparkan pemikirannya tentang
pendidikan Islam dalam tiga kitabnya yakni, Fatihatul
Kitab, Ayyuhal Walad, dan Ihya’
‘Ulumuddin. Dalam kitab-kitab ini kita akan menemukan pemikiran Al-Ghazali
tentang pendidikan yang komprehensif dan pembatasan yang jelas. Secara
sistematis, pemikirannya memiliki corak tersendiri. Ia secara jelas dan tuntas
mengungkapkan pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa
komponen yang meliputi hakikat tujuan pendidikan, pendidik dan peserta didik,
bidang studi, dan metode pendidikan.
1.
Pentingnya Ilmu dan Pendidikan
Dalam mempelajari Imam
Ghazali, sesuatu yang sangat penting untuk dibahas dari segi pendidikan adalah
perhatiannya yang sangat dalam terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan maupun
keyakinan yang sangat kuat bahwa pendidikan yang baik itu merupakan suatu jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan untuk mendapatkan kebahagiaan
dunia-akhirat.[5]
Manusia dapat diakui sebagai manusia dan dibedakannya dari hewan oleh ilmu pengetahuaanya.
Oleh karena itu kedudukan, kemuliaan ilmu pengetahuan dan orang-orang yang
berilmu sangat tinggi derajatnya di hadapan Allah swt.
Dan untuk itu Al-Ghazali memberikan kedudukan tinggi bagi seorang guru
dan menaruh kepercayaan terhadapnya sebagai pensehat atau pembimbing yang baik.
Dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin Al-Ghazali tentang ilmu
pengetahuan dan manusia serta ketinggian derajat dan kedudukan ulama
sebagaimana dikutib oleh Fathiyah Hasan Sulaiman (1986: 22) sebagai berikut:
“Makhluk yang paling mulia di bumi ini adalah jenis manusia dan bagian
yang paling mulia diantara subtansi manusia itu adalah hatinya. Sedangkan guru
adalah orang yang berusaha menyempurnakan, meningkatkan, mensucikan dan
membimbing hati itu mendekat kepada Allah swt., dan dari segi lain termasuk
tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Dikatakan khalifah Allah karena
Allah telah membuka hati seorang Alim dengan ilmu, yang justru ilmu itu menjadi
identitasnya. Karena itu menjadi bendahara bagi personalia-personalia didalam
khazanah Tuhan.”
Dan dalam melukiskan pentingnya
pengajaran dan kewajiban serta keharusan ikhlas dalam belajar beliau berkata
dalam Fatihatul ‘Ulum sebagaimana
dikutib oleh Fathiyah Hasan Sulaiman (1986: 23) sebagai berikut:
“Manusia itu semuanya bakal binasa kecuali orang-orang Alim, orang-orang
Alim pun semuanya akan hancur kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya,
juga orang-orang yang mengamalkan ilmunya semua akan lenyap kecuali orang-orang
yang ikhlas dalam beramal”
2.
Tujuan Pendidikan Islam
Adapun pemikiran AL-Ghazali
tentang tujuan pendidikan dalam berbagai kitabnya yang disusun sebagaimana yang
dirumuskan oleh Zainuddin (1991: 42-50) sebagai berikut:
a.
Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan
itu saja.
Al-Ghazali mengatakan dalam Ihya’ ‘Ulumuddin Juz 1:
“Apabila engkau mengadakan penyelidikan terhadap ilmu pengetahuan, maka
engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu
pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri.”
Dari perkataan tersebut dapat kita ambil kesimpulan
bahwa penelitian, penelitian dan pengkajian dengan mencurahkan tenaga dan
pikiran mengandung kenikmatan intelektual dan spiritual yang mendorong semangat
dalam mencari ilmu. Hal tersebut dikarenakan ilmu pengetahuan seyogyanya
dipelajari, lantaran ia mempunyai keistemewaan-keistemewaan dan
kebagusan-kebagusan, jadi seolah-olah ilmu itu memiliki keutamaan pada dirinya
sendiri dan memberikannya pada orang lain tanpa syarat.[6] Dan
Al-Ghazali mewanti-wanti kepada para pelajar agar dapat bersikap kritis dan
cerdas dalam menoreh ilmu pengetahuan.
b.
Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan Akhlak.
Al-Ghazali mengatakan dalam Mizanul Amal :
“Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa
sekarang, adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya.”
Dari uraian Al-Ghazali tersebut sudahlah jelas bahwa
pendidikan haruslah mengedepankan pembentukan dan penyempurnaan akhlak peserta
didik. Karena akhlak merupakan aspek yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia. Menurut Al-Ghazali akhlak adalah keadaan jiwa yang mantab dan bisa melahirkan tindakan dengan mudah, tanpa
membutuhkan pemikiran dan perenungan. Dan akhlak tersebut didasari atas empat
kekuatan psikologis, yakni ilmu, marah, nafsu dan rasa keadilan. Dan akhlak
yang baik akan terbentuk dalam diri seseorang apabila keempat kekuatan ini
berada dalam keseimbangan. Pada intinya, pendidikan akhlak adalah usaha untuk
mengendalikan kekuatan-kekuatan tersebut dan menjaga agar semuanya dalam
keadaan seimbang.[7]
c.
Tujuan pendidikan Islam adalah
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
Al-Ghazali mengatakan:
“Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah
mendekatkan diri kepada Tuhan Pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran
dengan ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan,
kebesaran, pengaruh pemerintah bagi pimpinan Negara dan penghormatan menurut
kebiasaannya”.
Dari sini Al-Ghazali memaparkan bahwa harus adanya
keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tidak hanya memperhatikan dunia saja
ataupun akhirat saja. Jadi ruang lingkup pendidikan pada manusia menurut
Al-Ghazali tidaklah terbatas bagi kehidupan akhirat saja maupun dunia saja,
melainkan harus adanya sinkronisasi atau integrasi antara keduanya.
Dengan ketiga tujuan ini
diharapkan diharapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu mengantarkan
peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah swt.
3.
Pendidik
Dalam istilah pendidik,
Al-Ghazali menggunakan istilah al-mu’allimin
(guru), al-mudarris (pengajar), al-muaddib (pendidik), al-walid (orang tua).[8]
Dan secara umumnya pendidik adalah orang yang bertugas dan bertanggung jawab
atas pendidikan dan pengajaran yakni orang yang membimbing, meningkatkan,
menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga dekat dengan Allah swt. Tugas ini
didasarkan pada ungkapan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia dan
kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya.
a.
Profesi pendidik
Dalam Ihya’
‘Ulumuddin, Al-Ghazali berkata:
“Apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka
mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu, maka mengajarkannya adalah
memberikan faedah bagi keutamaan itu.”
Jadi mengajar dan mendidik merupakan hal yang sangat mulia,
dan secara naluriah, orang yang berilmu akan dimuliakan oleh orang lain, karena
ilmu adalah mulia dan mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan.
Akan tetapi, posisi pengajar dalam masa modern dewasa
ini, telah dipandang sebagai petugas semata yang mendapat gaji dan tanggung
jawab tertentu, serta tugas yang dilimitasi dalam dinding sekolah yang
merupakan dampak dari komersialisme pendidikan, matrialisme dan modernisasi,
sehingga terciptalah jarak antara pendidik dan peserta didik.
Padahal, dalam pandangan Al-Ghazali, tugas mengajarkan
ilmu menduduki posisi terhormat dan mulia. Dengan kemuliaannya tersebut, maka tugas
seorang guru tidak hanya diorientasikan pada gaji semata, melainkan perlu
adanya keteladanan bagi peserta didik dan penanaman nilai-nilai moral islam.
Al-Ghazali juga menyebutkan:
“Seorang guru adalah berurusan
langsung dengan hati dan jiwa manusia dan wujud yang paling mulia di
muka bumi ini adalah jenis manusia, bagian paling mulia dari bagian-bagian
tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru bekerja menyempurnakan,
membersihkan, mensucikan dan membawa hati itu mendekat kepada Allah SWT.”
Dari pemaparan tersebut, seorang guru merupakan orang
yang termulia yang mendidik hati, jiwa, akal dan roh manusia. Tugas seorang
guru sangatlah penting, ia bertugas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta
memperbaiki masyarakat.
b.
Gaji pengajar
Untuk masalah ini, para pakar fiqh masih berbeda
pendapat mengenai gaji yang diberikan kepada guru yang mengajarkan Al-Qur’an
yang merupakan sesuatu yang paling suci dikalangan umat Islam. Al-Qobisi
membolehkan seseorang guru menerima gaji. Akan tetapi Al-Ghazali berpendapat
sebaliknya, ia berkata:
“Al-Qur’an diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang yang
mengajarkannya. Ini adalah alasan agama yang menuntut para guru menunaikan
tugas dan kewajibannya di jalan Allah.”
Berdasarkan
hal tersebut Al-Ghazali mengharamkan gaji. Selain itu ia juga mengkritisi
ulama-ulama yang mengharapkan belas kasihan para Sultan untuk kelangsungan
hidup mereka.
Dari pemaparan tersebut Al-Ghazali mengharamkan gaji
yang mana apabila Al-Qur’an dijadikan suatu alat untuk mencari rizki, serta
satu-satunya tujuan untuk mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya.
c.
Persyaratan kepribadian pendidik
Dalam Ihya’
‘Ulumuddin, Al-Ghazali memaparkan betapa pentingnya kepribadian seorang
pendidik:
“Seorang guru mengamalkan ilmunya, lalu perkataanya jangan membohongi
perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat degan kata hati,
sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang memiliki
mata kepala lebih banyak.”
Dari pemaparan diatas, Al-Ghazali menegaskan bahwa
amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seorang pendidik sangatlah
penting, bahkan lebih penting daripada ilmu penetahuan yang dimilikinya. Karena
kepribadian seorang pendidik menjadi teladan dan akan ditiru oleh anak
didiknya.
Adapun syarat-syarat kepribadian bagi seorang pendidik
yang diungkapkan oleh Al-Ghazali sebagaimana berikut:
1)
Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima
baik.
2)
Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3)
Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya’/pamer.
4)
Tidak takabbur kecuali kepada orang-orang yang dholim, dengan maksud mencegah
dari tindakannya.
5)
Bersikap tawadhu’ dalam pertemuan-pertemuan
6)
Sikap dan pembicaraannya tidak main-main.
7)
Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya.
8)
Menyantuni serta tidak membentak orang-orang bodoh.
9)
Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang
sebaik-baiknya.
10) Berani berkata: saya tidak tahu terhadap masalah yang
tidak dimengerti.
11) Menampilkan hujjah yang benar, apabila ia berada dalam
hak yang salah, bersedia rujuk kepada kebenaran.
d.
Tugas dan kewajiban pendidik
Tugas dan kewajiban seorang guru menurut Al-Ghazali
sebagaimana yang dijelaskan dalam Ihya’
‘Ulumuddin dan Mizanul Amal dapat
diuraikan sebagai berikut:
1)
Mengikuti jejak Rosulullah dalam tugas dan kewajibannya
Al-Ghazali berkata:
“Seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rosulullah, maka ia tidak
mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu
pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhoan Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya.”
Seorang guru yang merupakan pengganti Nabi dalam
berdakwah dan menyerbakan ilmu pengetahuan haruslah mencerminkan diri sebagai
uswatun hasanah kepada peserta didik sebagaimana Rosulullah SAW. Dan dalam
pengajaran ilmu harus didasarkan untuk mencari ridho Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya.
2)
Memberikan kasih sayang dan perhatian yang tepat terhadap anak didik
Al-Ghazali mengatakan:
“Memberikan kasih sayang kepada murid-murid dan memperlakukan mereka
seperti anaknya sendiri.”
Dengan demikian, seorang guru merupakan pengganti dan
wakil bagi orang tua peserta didik dengan mencintainya sebagaimana anaknya
sendiri. Sehingga hubungan psikologis antara guru dan peserta didik, seperti
hubungan naluriah antara orang tua dan anak. Sedemikian dekat hubungan
guru-murid dalam pandangan Al-Ghazali, sehingga ia menyatakan bahwa guru
memiliki hak yang lebih besar atas anak didik ketimbang orang tua mereka
sendiri.[9]
Dari hal tersebut akan timbul hubungan timbal balik yang harmonis dan
berpengaruh positif terhadap proses pembelajaran.
Selain itu seorang guru harus mengenali sebaik mungkin
latar belakang pengetahuan muridnya dalam bidang kajian tertentu serta
mempertimbangkan daya tangkapnya, sehingga ia dapat menentukan kajian yang
cocok untuknya dan menyesuaikan pengajaranya. Dan yang paling rumit dari tugas
seorang guru adalah pendidikan akhlak bagi para muridnya. Perlu adanya
penanaman nilai-nilai ajaran Islam dan membentuk kepribadian baik muridnya sehingga
tujuan dan kepribadian peserta didik dapat terarahkan sesuai jalan yang
diridhoi oleh Allah.
3)
Menjadi teladan bagi anak didik
Al-Ghazali menegaskan bahwa amal perbuatan, perilaku,
akhlak dan kepribadian seorang pendidik sangatlah penting, bahkan lebih penting
daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Seorang guru harus konsekuen dan
mampu menjaga keharmonisan antara perkataan, ucapan, perintah dan larangan
dengan amal perbuatan guru, karena yang terpenting adalah amal perbuatannya,
bukan ucapannya.[10]
Karena kepribadian seorang pendidik menjadi teladan dan akan ditiru oleh anak
didiknya.
4)
Menghormati kode etik guru
Ilmu pengetahuan dan guru menduduki posisi sentral
dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu hubungan antar guru harus saling
menghormati dan memuliakan. Dan seorang guru pun seharusnya mengajak para
muridnya untuk menghormati dan memuliakan segenap guru dan ilmu pengetahuan,
bukan sebaliknya. Dalam rangka membantu kemajuan proses pendidikan dan
pengajaran, setiap guru haruslah menjaga kode etik guru tersebut.
4.
Peserta Didik
a.
Fitrah
Manusia dilahirkan di dunia ini dengan fitrah. Dan
fitrah menurut Al-Ghazali berdasarkan QS.30:30 ialah iman kepada Allah dan
mengakui ke-Esaan-Nya. Fitrah ini sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan
kejadian manusia; cocok dengan tabiat dasarnya yang memang condong ke Agama
tauhid.[11]
Dan pada dasarnya fitrah adalah baik dan sempurna,
fitrah memiliki kemungkinan untuk menerima sesuatu kebaikan dan keburukan.
Selain itu fitrah juga merupakan dorongan ingin tahu terhadap kebenaran yang
dibawanya sejak lahir. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa manusia
terlahir dengan membawa potensi-potensi dan sifat-sifat yang masih berupa
kemungkinan dalam pengembangannya, karena semua itu masih terpendam dalam jiwa
manusia. Intinya adalah, fitrah merupakan dasar kemampuan untuk menerima pendidikan
dan pengajaran.
Selain itu, Al-Ghazali juga menerangkan tentang
pengaruh faktor endogen dan eksogen yang diumpamakan dengan sebiji kurma
bukanlah apel atau pohon kurma, melainkan biji yang mungkin dapat dijadikan pohon kurma
apabila diusahakan pemeliharaan padanya. Dari hal tersebut Al-ghazali mengakui
kedua faktor tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan anak didik.
b.
Perkembangan anak didik
Manusia diciptakan dari ketiadaan dan berangsur
berubah menuju kesempurnaan dengan disertai berbagai proses tertentu untuk
menujunya. Dengan fitrah, manusia dapat melakukan evolusi, yakni perubahahan
dan perkembangan dalam dua aspek, aspek fisik dan aspek psikis. Aspek fisik
manusia memiliki potensi-potensi dan kemampuan tenaga fisik yang mana apabila dikembangkan
dengan benar dan baik akan menjadi suatu
kecakapan dan ketrampilan dengan memanfaatkan karunia Allah untuk mendekatkan
diri kepada-Nya. Aspek psikis mengandung begitu banyak potensi yang apabila
dikembangkan dengan benar dan baik akan menciptakan pikiran yang ilmiah,
berkarya ilmiah dan bersikap ilmiah dalam rangka untuk mencari kebenaran hakiki
yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Manusia berkembang dari ketiadaan menju kesempurnaan
melalui beberapa tingkatan, dimana dalam tingkatan perkembangan tersebut
memiliki sifat yang saling berbeda. Dan tingkatan-tingkatan perkembangan
tersebut menurut Al-Ghazali sebagaimana yang diutarakan Zainudin (1991:69) yaitu:
1)
Al-Janin, tingkat anak yang berada dalam kandungan, adanya kehidupan
setelah ditiupkan roh oleh Allah.
2)
At-Tifl, tingkat anak-anak dengan memperbanyak latihan dan kebiasaan
sehingga mengetahui baik dan buruk.
3)
At-Tamyiz, tingkat anak yang telah dapat membedakan suatu yang baik dan
buruk, bahkan akal pikirannya telah berkembang sedemikian rupa sehingga telah dapat
memahami ilmu dloruri.
4)
Al-Aqil, tingkat manusia yang telah berakal sempurna bahkan akal
pikirannya telah berkembang secara maksimal sehingga telah menguasai ilmu
dloruri.
5)
Al-Auliya’dan Al-Anbiya’,tingkat tertinggi dalam perkembangan manusia.
Bagi para nabi telah mendapatkan ilmu dari Tuhan melalui malaikat yang berupa
wahyu. Dan bagi para wali telah mendapatkan ilmu ilham atau ilmu laduni yang
tidak tahu bagaimana dan darimana ilmu itu didapatkannya.
c.
Etika anak didik terhadap pendidik
Al-Ghazali menerangkan etika anak didik terhadap
pendidik secara terperinci dalam kitabnya Bidayatul
Hidayah yang mana secara garis besarnya dapat disimpulkan menjadi 3 hal
sebagaimana yang diutarakan oleh Zainuddin (1991:71) berikut ini:
1)
Memperhatikan kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan guru, sehingga
hubungan antara guru dan murid dapat berjalan secara harmonis.
2)
Memperhatikan konsentrasi dan suasana belajar mengajar di dalam kelas.
3)
Sopan santun dan tatakrama dalam pergaulan sehari-hari.
d.
Tugas dan kewajiban para pelajar
Al-Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban
para pelajar di dalam kitabnya Ihya’
‘Ulumuddin dan Mizanul ‘Amal secara
luas dan mendalam yang dapat diuraikan sebagaimana berikut:
1)
Mendahului kesucian jiwa
Belajar dan mengajar merupakan suatu ibadah yang
sangat tinggi dan mulia kedudukannya dihadapan Allah. Oleh karena itu perlu
didahului dengan kesucian jiwa dari kerendahan akhlak dan dari sifat-sifat
tercela. Karena ilmu pengetahuan merupakan kebaktian hati, shalatnya jiwa dan
mendekatkan batin kepada Allah. Sebagaimana kata Imam Waki’ guru Imam Syafi’i
bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tak kan masuk dengan adanya
kemaksiatan.
2)
Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan bersedia merantau
yakni dimaksudkan agar dalam mencari ilmu pengetahuan dapat mencurahkan segala
tenaga, jiwa, raga dan pikiran dan terhindar dari faktor-faktor yang dapat
mengendorkan semangat belajar yang berupa hubungannya dengan
kesibukan-kesibukan duniawi dan keluarga serta tanah kelahirannya. Karena
hubungan itu dapat mempengaruhi dan memalingkan hati. Selain itu dengan
pengembaraan yang dilaksanakan dengan sebaik-baiknya akan menambah pengalaman
dan pengetahuan serta menambah persahabatan dan meningkatkan
persaudaraan;mendewasakan diri dan memperluas wawasan berpikir, serta mengembangkan fungsi
hidup manusia.[12]
3)
Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya
Sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali bahwa seorang
pelajar seharusnya jangan menyombongkan diri dengan ilmu pengetahannya dan
jangan menentang gurunya. Akan tetapi patuhlah terhadap pendapat dan nasihat
seluruhnya seperti patuhnya orang sakit yang bodoh kepada dokter yang ahli dan
pengalaman. Dan yang dimaksudkan guru disini adalah seseorang yang telah
memiliki keahlian yang tinggi dan pengalaman yang luas, telah menyelidiki
dengan teliti keadaan pelajar itu sehingga mengetahui kelemahan dan
penyakitnya, setelah itu baru memberikan nasihat atau petunjuk dan pengobatan
yang sesuai. Seorang guru yang demikian dapat disebut sebagai konsultan jiwa
bagi masyarakat atau tenaga bimbingan atau konseling bagi sekolah.[13]
4)
Menghindarkan diri dan tidak terlibat dalam kontroversi dan pertentangan
kalangan akademis
Hal ini sangat relevan bagi para pemula, sebab
kontroversi dapat membingungkan otaknya sehingga membuat ketertarikannya
terhadap ilmu pengetahuan menjadi surut. Al-Ghazali menyarankan agar
murid-murid pemula membatasi diri dengan pandangan-pandangan gurunya saja.
Hanya apabila ia telah menguasai pandangan-pandangan gurunya secara sempurna
baru ia lanjutkan dengan mempelajari pandangan ulama-ulama lain dengan syarat
ulama tersebut telah mampu menghasilkan pandangan sendiri yang independen.[14]
5)
Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan
Al-Ghazali menasihatkan untuk para pelajar bahwa
seorang pelajar harus mendahulukan ilmu pengetahuan yang paling pokok dan mulia
yang dipelajari secara mendalam serta mengetahui tujuannya. Dan ilmu yang mulia
tersebut dapat diindikasikan dengan dua hal, yakni kemuliaan hasilnya dan
kepercayaan serta kekuatan dalilnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan ilmu yang
penting dan kemudian ilmu pelengkap dan seterusnya. Dan Al-Ghazali menyarankan
untuk memilih suatu cabang ilmu tertentu untuk dikaji secara mendalam, terutama
untuk memilih satu cabang ilmu agama, karena ini dianggap akan membawa
kebahagiaan yang abadi. Pada intinya Al-Ghazali menganggap bahwa seseorang
perlu mendapatkan pendidikan dasar terlebih dahulu, sebelum ia melanjutkan
pendidikan sepesialis dalam dalam bidang tertentu.[15]
5.
Bidang Studi
Dalam pemberian pengajaran
dan pembelajaran perlu adanya perhatian terhadap jenjang pendidikan anak didik
yang diawali dengan mengembangkan kemampuan membaca, menulis, menghafalkan bagi
usia anak-anak yang memiliki fungsi fundamental untuk dapat mempelajari
berbagai disiplin ilmu pada jenjang pendidikan yang akan mereka lalui. Dengan
pemberian ilmu pengetahuan dasar dimaksudkan sebagai alat pengembangan daya
ingatan, akal pikiran dan bakat mereka, dan menguasai ilmu pengetahuan tersebut
untuk diamalkan pada kehidupan sehari-hari dan sebagai dasar untuk memperdalam ilmu pengetahuan
berikutnya atau sebagai dasar pandangan dan pegangan hidup nantinya.[16]
Selain itu, Al-Ghazali juga
menekankan aspek-aspek keagamaan yang diwarnai dengan tasawuf dan budi pekerti.
Walaupun demikian beliau tidak melalaikan akan kepentingan duniawi, seperti
kebudayaan, peradaban dan kebendaan, serta aspek-aspek pendayagunaan manfaat.[17]
Dalam kaca mata Al-Ghazali,
secara garis besarnya ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua segi. Yakni ilmu
sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi proses, Al-Ghazali membagi
ilmu menjadi ilmu hissiyah, yang
diperoleh manusia melalui alat indra, ilmu aqliyah,
yang diperoleh melalui kegiatan berpikir, dan ilmu laduni, diperoleh langsung dari Allah tanpa melalui proses
pengindraan maupun kegiatan berpikir.
Dan ilmu sebagai obyek,
Al-Ghazali membagi ilmu menjadi tiga kelompok, yakni:
a.
Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak.
Ialah ilmu yang tidak dapat diharapkan kegunaannya
didunia apalagi di akhirat. Seperti ilmu sihir, tulisan Azimat, ilmu nujum dan
ilmu meramal nasib.[18]
b.
Ilmu pengetahuan yang terpuji secara mutlak, baik sedikit maupun banyak.
Ialah pelajaran-pelajaran agama dan berbagai macam
ibadah yang dapat mensucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatan tercela,
membantu mengetahui kebaikan dan dan mengerjakannya, memberi tahukan manusia ke
arah jalan yang lurus dan diridhoi Allah serta mendekatkan diri kepada-Nya.[19]
c.
Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika
memperdalaminya tercela.
Pengetahuan yang mana apabila dipelajari secara
mendalam akan membawa madhorot yang dapat menyebabkan kekacauan pikiran dan
keraguan, bahkan bisa membawa kepada kekufuran dan pengingkaran. Seperti ilmu
Ketuhanan, cabang dari ilmu filsafat dan sebagian aliran naturalisme.
Selain melihat dari dua segi
di atas, Imam Al-Ghazali juga membagi ilmu berdasarkan hukum mempelajarinya.
Yakni, ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu
‘ain, yakni ilmu yang harus dipelajari oleh setiap individu seperti ilmu
agama dan cabang-cabangnya, serta ilmu
yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah. Yakni, ilmu pengetahuan
yang wajib bagi individu, tetapi bila sudah ada individu yang mempelajarinya
maka kewajiban bagi individu lain gugur. Contohnya ialah ilmu kedokteran, ilmu
hitung, ilmu pertanian dll.
Sedangkan dari segi
kekhususannya, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bidang, yaitu:
a.
Ilmu Syari’at sebagai ilmu yang terpuji, terdiri dari:
1)
Ilmu Ushul
(ilmu pokok); ilmu Al-Qur’an, Hadist, pendapat Sahabat, dan Ijma’
2)
Ilmu Furu’
(ilmu cabang); Fiqh, ilmu hati dan akhlak
3)
Ilmu Muqoddimah (ilmu pengantar); ilmu bahasa dan gramatika
4)
Ilmu Mutammimah (ilmu pelengkap); ilmu Qiroat, Makhorijul hurf, Nasikh Mansukh, sejarah
nabi dan sahabat dll.
b.
Ilmu bukan Syari’at, terdiri
dari:
1)
Ilmu terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu perusahaan
2)
Ilmu yang diperbolehkan; ilmu kebudayaan, satra, sejarah dan puisi.
3)
Ilmu yang tercela; ilmu tenung, ilmu sihir, dan bagian-bagian tertentu
dari filsafat
6.
Metode Pendidikan menurut Al-ghazali
a.
Asas-asas metode belajar
1)
Memusatkan perhatian sepenuhnya
Dengan memusatkan perhatian sepenuhnya terhadap
pembelajaran, anak didik akan dapat mengetahui dan memahami pelajaran dengan
baik dan sempurna. Selain itu keadaan psikis anak didik juga menentukan, dengan
perasaan senang, keperluan akan mempelajari pelajaran tersebut, akan membuat
anak didik menaruh kecenderungan dan ketertarikan serta mempunyai minat yang
tinggi terhadap pelajaran tersebut.
2)
Mengetahui tujuan ilmu yang dipelajari
Pelajar harus mengetahui hubungan ilmu pengetahuan itu
dengan tujuannya, sehingga pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya
akan membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih jauh.[20]
Dengan memahami betul tujuan dalam pembelajaran maka pelajar akan senang dan
berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencapai tujuan tersebut.
3)
Mempelajari ilmu pengetahuan dari yang sederhana kepada yang kompleks
Pelajar dalam memperoleh pengajaran harus diperhatikan
tahapan-tahapannya. Dengan diawali pengantar yang sederhana dan dasar-dasarnya
kemudian jika telah menguasai barulah naik ke jenjang berikutnya. Hal tersebut
dimaksudkan agar pelajar dapat menyerap pelajaran dengan baik yang sesuai
dengan jenjangnya dan tidak menggoyahkan pikirannya karena telah memiliki dasar yang kuat.
4)
Mempelajari ilmu pengetahuan dengan memperhatikan sistematika
pembahasannya
Mempelajari ilmu pengetahuan memang selayaknya
mengetahui kesesuaian dan relevansi terhadap prinsi sequence yakni yang menuntut urutan dalam setiap mata pelajaran
dengan tujuan yang jelas serta tingkat menuju tingkat berikutnya, sehingga
diharapkan dapat menimbulkan suatu proses pertumbuhan akal pikiran dan
perkembangan mental yang baik.[21]
b.
Asas-asas metode mengajar
1)
Memperhatikan tingkat daya pikiran anak
Seorang guru hendaknya memperhatikan dan memperkirakan
tingkat daya pikiran anak didiknya dan memberikan pengajaran yang sesuai
dengannya, sehingga tidak terjadi misunderstanding
terhadap anak didik dalam menerima pembelajaran.
2)
Menerangkan pelajaran dengan cara sejelas-jelasnya
Yang dimaksudkan dalam prinsip ini adalah perlu adanya
penyesuaian pemberian pengajaran terhadap keberagaman tingkat daya tangkap atau
daya pikir anak didik. Anak didik yang memiliki tingkat kemampuan yang
tergolong di bawah rata-rata perlu adanya penjelasan yang sejelas-jelasnya agar
dapat memelihara kadar kelemahannya sehingga tidak berpengaruh buruk dalam
jiwanya.[22]
Sebaliknya anak didik yang tergolong memiliki kemampuan di atas rata-rata cukup
dengan penjelasan yang singkat dan ringkas saja yang dapat dipahami oleh
mereka.
3)
Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang kongkrit menuju yang abstrak
Dalam pemberian pengajaran perlu adanya perhatian
terhadap jenjang anak didik. Anak didik diberikan pengajaran dari hal yang umum
menuju yang khusus, dari yang mudah menuju yang sulit, dari yang dasar menuju cabang-cabang, dari yang
kongkrit menuju yang abstrak. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
pendangkalan otak, pelemahan akal pikiran dan pengaburan pemahaman terhadap
anak didik.
Al-Ghazali menyarankan agar dalam pendidikan agama itu
dimulai dengan menghafal serta meyakini dan membenarkannya. Setelah itu baru
ditegakkan dengan bukti-bukti atau dalil-dalil yang dapat membantu mantapnya
keyakinan tersebut.[23]
4)
Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara berangsur-angsur
Al-Ghazali menganjurkan agar dalam pemberian
pengajaran perlu memperhatikan kemampuan berpikir dan kesedian menerima
pelajaran anak didik yang dilakukan
secara berangsur-angsur setingkat demi setingkat dan menuju tingkat berikutnya.
c.
Asas-asas metode mendidik
1)
Memberikan latihan-latihan
Metode dalam melatih anak-anak merupakan hal yang
sangat penting dan perlu sekali. Metode ini harus diberikan kepada anak-anak
sedini mungkin, karena hal tersebut dapat memberikan pengaruh yang positif
terhadap perkembangannya kelak. Al-Ghazali menghendaki dengan cara latihan ini
meliputi pembiasaan, disiplin dan contoh-contoh, kemudian latihan-latihan
dengan alat-alat seperti anjuran, perintah larangan dan lain-lain.[24]
2)
Memperhatikan pengertian-pengertian dan nasihat-nasihat
Nasihat-nasihat dimaksudkan agar anak mendapatkan
pengertian tentang perbuatan dan perilakunya sehari-hari, sehingga kedepannya
ia menjadi teguh dan kuat dalam pribadinya. Nasihat merupakan hal yang penting
bagi urgensi kehidupan anak dan sebagai masukan informatif yang sangat positif.
3)
Melindungi anak dari pergaulan buruk
Al-Ghazali sangat memperhatikan pergaulan anak dan
menyarankan agar guru memperhatikan pergaulan anak didiknya dengan serius,
karena pergaulan berdampak besar bagi perkembangan anak.
d.
Alat-alat pendidikan langsung
Alat pendidikan langsung yaitu langkah-langkah yang
diambil guru yang ditujukan kepada anak didik secara langsung untuk mencapai
kelancaran proses pembelajaran dan pengajaran.
1)
Alat pendidikan preventif
a)
Anjuran dan perintah
Anjuran disini merupakan saran dan ajakan untuk
melakukan hal yang positif. Sedangkan perintah yakni suatu keharusan untuk
melakukan sesuatu yang baik dan berguna dan yang diwajibkan. Kedua hal tersebut
berguna untuk membentuk kesadaran dan pengertian menjalankan kewajiban,
sehingga berangsur-angsur tumbuh rasa senang melakukannya, selanjutnya anak
akan terdorong dalam melakukannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.[25]
b)
Larangan
Larangan dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari
sesuatu yang buruk, tercela, tidak berguna dan dilarang oleh agama.
c)
Disiplin
Pembiasaan dilakukan seakan-akan seperti suatu
paksaan, namun sebenarnya merupakan bimbingan dan mengarah kearah perbuatan
yang baik, pantas dan sopan. Disiplin disini merupakan kesediaan untuk mematuhi
peraturan yang baik yang didasari dengan kesadaran tentang nilai dan pentingnya
peraturan tersebut.
2)
Alat pendidikan kuratif
a)
Peringatan
Peringatan diberikan kepada anak didik yang telah
melakukan kesalahan atau pelanggaran yang biasanya disertai dengan ancaman atau
sanksi apabila anak mengulangi perbuatannya tersebut. Dalam memberikan
peringatan haruslah dengan cara yang bijaksana, kalimat yang singkat dan
berisi, serta tutur kata yang halus dan secara simbolis atau dengan bahasa
isyarat.
b)
Teguran
Dalam menegur anak, tidaklah menggunakan terlalu
banyak kata-kata yang mungkin akan menyebabkan anak meremehkannya. Akan tetapi
dengan cara yang halus, lemah lembut dan penuh kasih sayang yang dilakukan
sekali-kali saja. Pemberian teguran juga dapat dilakukan dengan bahasa simbolis
atau isyarat.
c)
Sindiran
Al-Ghazali menganjurkan untuk memperbaiki akhlak yang
buruk dengan sindiran dengan cara kasih sayang dan halus agar dapat membawa
anak didik kepada jiwa yang bersih dan hati yang suci untuk memahami tujuan.
d)
Ganjaran
Ganjaran merupakan salah satu alat pendidikan yang
diberikan kepada anak didik atas prestasi yang diraihnya. Dengan ini diharapkan
agar dapat merangsang anak didik lain untuk mengikutinya dan mengembangkan prestasinya
dan biasa dengan tingkah laku yang baik. Dan ganjaran tersebut dapat berupa:
§ Penghormatan, berupa kata-kata atau isyarat.
§ Hadiah, yakni ganjaran yang berupa pemberian sesuatu
yang bertujuan untuk mengembirakan anak.
§ Pujian dihadapan orang banyak
e)
Hukuman
Yakni suatu perbuatan dengan sadar dan sengaja yang
dijatuhkan untuk memperbaiki atau melindungi diri sendiri dari kelemahan
jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran. Dan
Al-Ghazali berpendapat bahwa hukuman merupakan jalan yang paling akhir apabila
teguran, peringatan dan nasehat-nasehat belum bisa mencegah anak melakukan
pelanggaran.[26]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa
Al Ghazali merupakan tokoh cendekiawan muslim yang memperhatikan dunia
pendidikan terutama pendidikan Islam. Perhatiannya tersebut sudah terlihat
sejak ia mengembara untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Sehingga
melahirkan sebuah konsep tentang pendidikan Islam. Konsep tersebut terdiri dari
beberapa komponen yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, bidang
studi dan metode pendidikan.
Ada tiga tujuan dalam pendidikan. yang pertama yaitu
pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini berkaitan dengan berbagai
penelitian-penelitian dalam upaya mengulas secara mendalam tentang ilmu-ilmu
pengetahuan. Tujuan yang kedua yaitu pendidikan membentuk akhlak yang baik.
Pembentukan akhlak ini merupakan tujuan yang paling utama karena akhlak sangat
mendasar bagi hubungan-hubungan yang dijalin manusia. Tujuan pendidikan yang
ketiga yaitu mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Tujuan yang terakhir inilah
yang menjadi golden goal dalam
pendidikan Islam. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan Islam itu tidak hanya
ditujukan untuk kehidupan dunia saja namun juga kehidupan di akhirat.
Komponen kedua dalam pendidikan Islam adalah pendidik.
Pendidik menurut pandang Al Ghazali merupakan pekerjaan yang mulia dan tidak
terorientasi pada gaji. Ia harus bekerja dengan sebuah panggilan jiwa yang
berusaha untuk mendidik, mebimbing dan mengajar agar para peserta didik dapat
mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Kemudian komponen ketiga peserta didik. Yaitu orang
yang mempunyai potensi dalam dirinya untuk dibimbing, didik dan diajar agar
dapat mencapai tujuan pendidikan.
Komponen keempat yaitu bidang studi yang berisi ilmu
pengetahuan yang akan ditransfornasikan kepada peserta didik. Di dunia ini ada
bermacam-macam ilmu pengetahuan. Untuk itu perlu adanya suatu metode yang
digunakan guna tercapainya tujuan pendidikan. Metode inilah yang mejadi
komponen kelima dalam pendidikan Islam menurut Al Ghazali. Metode mencakup
bagaimana cara seorang pendidik dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga terlihat bahwa kelima komponen tersebut
saling terkait. Peserta didik merupakan subyek didik yang dididik, dibimbing
dan diajar berbagai ilmu pengetahuan oleh pendidik dengan menggunakan metode
pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan. Sebagai seorang yang dibimbing
seorang peserta didik memiliki tugas dan kewajiban. Selain itu peserta didik
juga harus bersikap tawadhuk terhadap guru yang telah mmembimbingnya. Pendidik
pun dalam bekerja harus memperhatikan perkembangan peserta didik sehingga ilmu
dan metode yang digunakan sesuai dengan kemampuan peserta didik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurraziq,
Ahmad Al-Bakri. 2007. Ringkasan Ihya’
‘Ulumuddin. Sahara Publisher: Jakarta
Al-Ghazali.
2010. Ayyuhal Walad. Al-Maktabah
Al-Usmaniyah: Kediri
Al-Ghazali. 2010.
Ihya’u ‘Ulumuddin Juz 1. Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah: Lebanon
Asari, Hasan.
1999. Nukilan Pemikiran Islam Klasik:
Gagasan Pendidikan Al-Ghazali. Tiara Wacana: Yogyakarta
Jalaludin dan
Said, Usman. 1999. FIlsafat Pendidikan
Islam: Konsep dan Perkembangan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Nizar, Samsul.
2002. Filsafat Pendidikan Islam:
Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Ciputat Press: Jakarta
Sulaiman,
Fatiyah Hasan. 1986. Konsep Pendidikan Al
Ghazali. PT. Temprint: Bandung
Sulaiman,
Fatiyah Hasan. 1986. Sistem Pendidikan
Versi Al Ghazali. Alma’arif: Bandung
Zainuddin. 1991.
Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Gazhali. Bumi
Aksara: Jakarta
0 komentar:
Post a Comment