BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan
karakter yang merupakan satu dari sekian banyak paradigma pendidikan di
Indonesia, kini semakin ramai dibahas sejak dicanangkannya gerakan pendidikan
karakter. Wacana ini menjadi hangat dan banyak tulisan-tulisan atau artikel
bahkan buku yang membahas tentang pendidikan karakter yang diharapkan dapat
menjadi suatu praktek pendidikan yang bisa mengupayakan adanya perubahan dalam
masyarakat yang lebih baik. Kemunculan pendidikan karakter sebagaimana
paradigma pendidikan lain, dilatarbelakangi oleh konstruksi filosofis yang
berdiri di belakangnya.
Kemudian muncul pula bagaimana konsep
pendidikan karakter dan apa sebenarnya
urgensinya bagi pendidikan di Indonesia, serta bagaimana pendidikan karakter
tersebut bisa diterapkan di lingkungan sekolah, di keluarga, atau di
masyarakat. Hal itulah yang akan dibahas dalam makalah ini.
RUMUSA MASALAH
1.
Apakah Pengertian
karakter ?
2.
Apa saja Teori
pengembangan karakter ?
3.
Bagaimana Metode
Pendidikan Karakter ?
4.
Apa Tahap-Tahap
Pembentukan Karakter ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KARAKTER
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak,
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Karakter
adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas
seseorang atau sekelompok orang.[1]
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan
karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan
sikap hidup yang dimilikinya. Bagi foerester, karakter merupakan sesuatu yang
mengualifikasi seorang pribadi. Kararketr menjadi identitas yang mengatasi
pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematagan karaker inilah,
kualitas seorang pribadi diukur.
Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan
dan Bohlin, mangandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan ( knowing
the good ), mencintai kebaikan ( loving the good ), dan melakukan kebaikan
(doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu sering kali dirangkum
dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian, maka pendidikan karakter
adalah sebuah kehausan. Inilah awal pendidikan karakter.
B.
TEORI PENGEMBANGAN KARAKTER
Sebagai dasar
acuan dalam merumuskan konsep pendidikan karakter dalam Islam ialah QS. Ar-Rum
(30): 30.
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”
Dari ayat di
atas dapat ditarik benang merah bahwa bawaan dasar (fitrah) manusia dan proses
pembentukan karakternya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1)
fatalis-pasif (2) netral-pasif (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[2]
1.
Aliran yang berpandangan fatalis-pasif, mempercayai bahwa setiap individu
karakternya baik atau jahat melalui ketetapan Allah. Faktor-faktor eksternal,
termasuk paradigma pendidikan karakter tidak begitu berpengaruh karena setiap
individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Karakter
positif atau negatif seseorang telah ditentukan lebih dahulu sebelum dia lahir
ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah.
2.
Pandangan netral-pasif, yakni anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan
sempurna, suatu keadaan kosong. Sama halnya dengan teori tabularasa yang
dikemukakan John Lock bahwa manusia lahir seperti kertas putih tanpa ada
sesuatu goresan apa pun. Manusia berpotensi berkarakter baik dan tidak baik itu
karena mendapat pengaruh dari luar terutama orang tua. Pengaruh baik dan buruk
tersebut akan terus mengiringi kehidupan setiap insan dan karakter yang
terbentuk tergantung mana yang dominan memberi pengaruh. Jika pengaruh baik
lebih dominan, maka seseorang akan berkarakter baik, begitu pula sebaliknya
apabila yang lebih dominan adalah pengaruh buruk, maka karakter yang terbentuk
karakter tidak baik. Pandangan ini mengambil argumen dari QS. Al-Nahl (16):78
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
3.
Aliran positif-aktif yakni bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir
adalah berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan lingkunganlah yang
membelenggu manusia sehingga ia menjauh dari sifat bawaannya.
4.
Aliran dualis-aktif yakni manusia memiliki dua sifat ganda yang sama
kuatnya. Sifat baik dan buruk. Tergantung kedekatan manusia terhadap lingkungan
yang baik atau buruk. Jika ia dekat dengan teman yang berkarakter baik,
maka seseorang tersebut akan mengambil sifat baiknya, dan sebaliknya. Penanaman
kebiasaan positif amat penting untuk diupayakan sejak kecil agar karakter atau
sifat baik lebih kuat.
Dasar
pembentukan karakter adalah nilai baik (disimbolkan sebagai nilai malaikat)
atau buruk (disimbolkan sebagai nilai setan). Karakter manusia merupakan
hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai
buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis
religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif
itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (setan).[3]
Energi positif
itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual yang berupa îmân, islâm,
ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan
kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani
taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus
salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun
munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa
yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya
manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga, sikap dan
perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan
spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan
konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis
itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan
amal saleh.
Energi positif
tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter,
yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan
beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja
akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality
(integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency
yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari
energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan
dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai
destruktif atau nilai-nilai material) yang berfungsi sebagai pembusukan, dan
penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi
negatif terdiri dari: Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût
itu berupa kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq
(kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan
yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani
taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala sâfilîn); Kedua,
kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran
sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun
mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah
(jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah
selain Allah berupa harta, seks dan kekuasaan (thâghût). Ketiga,
sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan
implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang
kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak
etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur
(congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal
sayyiât (destruktif).
Energi negatif
tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter
buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs
lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang
yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan
perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus
(hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan
kompetensi yang dimiliki.[4]
C.
METODE PENDIDIKAN KARAKTER
Penerapan
pendidikan karakter harus dilakukan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, perlu
adanya metode. Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar
manusia, fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal,
nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas
dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat
beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran.
Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah
dan tadlrîb.[5]
1.
Metode Tilâwah
Untuk
mengembangkan kemampuan membaca, tujuannya agar anak memiliki kefasihan
berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena.menyangkut kemampuan membaca.
2.
Metode ta’lim
Untuk
mengembangkan potensi fitrah berupa akal (pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual
quotient)). Yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran.
3.
Metode tarbiyah
Menyangkut
kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan
asuh. Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang,
kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid,
sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam
pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru
mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan
hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk
menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari
penerapan metode tarbiyah
4.
Metode ta’dîb
Untuk
mengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient).
5.
Metode tazkiyah
Untuk
mengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Berfungsi juga
untuk mensucikan jiwa.
6.
Metode tadlrib
Metode tadlrîb
(latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan
kesehatan fisik (physical quotient atau adversity quotient).
Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya fisik yang kuat,
cekatan dan terampil.
Selanjutnya, di
sekolah pendidikan karakter yang diterapkan semestinya terarah pada pengembangan kultur
edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral.
Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis
desain dalam pemrogramannya.
Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis
pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas.
Relasi guru dengan siswa bukan monolog, melainkan dialog, sehingga siswa itu berkesempatan untuk
mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya. Baik itu masalah materi pelajaran maupun
hal-hal yang non pelajaran. Misalnya tentang manajemen kelas, yang membantu
terciptanya suasana kelas yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba
membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan
bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan
dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan
memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat
dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah
yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik,
komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga
pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki
tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks
kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika
mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara
telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna
tatanan sosial bersama. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga
desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis.
Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, tidak konsisten, dan tidak efektif.[6]
Sekolah sebagai institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya
untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik,
tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan rasa tanggungjawab dan pengambilan keputusan yang bijak dalam
kehidupan. Sekolah
haruslah menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang bebas
(free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal,
tidak memihak (non sectarian), dan bebas.
Sekolah
mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika
anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan
kenyataan bahwa anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa
yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian
anak ketika dewasa kelak.
Di Indonesia,
dimana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta, kelihatannya
pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari tingkat kejahatan dan demoralisasi
masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya
seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih
mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai
kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun
tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan
difokuskan pada pendekatan otak kiri (kognitif), yaitu hanya mewajibkan peserta
didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh
perasaan, emosi, dan nuraninya.
Selain itu
tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia
dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar
dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika
dijumpai banyak sekali ketidakonsistenan antara apa yang diajarkan di sekolah
dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian, seperti yang
telah dipaparkan pada sub bab di atas, peran orangtua dalam pendidikan agama
untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua
pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia
ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun
nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan
karakter harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan
prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Menurut Lickona, terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat
berjalan efektif: (1) mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai
kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik; (2) mendefinisikan
karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3)
pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan
karakter; (4) menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) memberi
siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) membuat kurikulum akademik
yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan
karakter, dan membantu siswa untuk berhasil; (7) mengusahakan mendorong
motivasi diri siswa; (8) melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran
dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk
mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa; (9)
menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang
bagi inisiatif pendidikan karakter; (10) melibatkan keluarga dan anggota
masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter; (11) mengevaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh
mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika
inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat
terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya
seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter
yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik
berdasarkan nilai- nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang
dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya,
menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi
nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat.
7.
TAHAP-TAHAP
PEMBENTUKAN KARAKTER
Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang
dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik
memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pada dasarnya setiap orang sudah
memiliki potensi atau kemampuan yang ada sejak ia dilahirkan.potensi-potensi
itulah yang menjadi bekal untuk pembentukan karakter dirinya. Sedangkan
pembentukan karakter selain didorong faktor bawaan, tidak terlepas pula oleh
faktor lingkungan yang juga memiliki pengaruh cukup besar bagi pembentukan
karakter seseorang.
Karakter mulai
terbentuk ketika seseorang masih kecil. Lingkungan yang pertama dilihat oleh
seseorang pasca lahir adalah keluarga. Maka peran keluarga dalam pembentukan
karakter menjadi yang pertama dan utama. Terutama pendidikan yang diberikan
oleh orang tua, khususnya ibu. Dalam falsafah Jawa kita mengenal istilah guru
yang merupakan singkatan dari digugu lan ditiru. Guru dalam ranah
keluarga adalah kedua orangtua. Sehingga apapun perkataan, perbuatan atau sikap
dari orangtua akan diikuti oleh anak, entah itu baik maupun buruk. Sebab ketika
seseorang berada pada masa anak-anak, pendidikan yang dominan adalah keteladanan.
Ucapan dan tindakan dari orangtua yang itu termasuk hal yang baik atau buruk,
secara langsung ataupun tidak langsung akan membentuk karakter si anak sebagai
makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk keagamaan.
Orangtua yang menanamkan nilai-nilai agama pada anak, misalnya sering mengajak
sholat, mengajari membaca Al-Quran, mengenalkan Allah, mendorong untuk cinta
kepada Muhammad, maka anak cenderung akan terbentuk karakter orang yang
religius. Orangtua yang sering mengajarkan kebaikan, bertutur kata yang lemah
lembut, dermawan pada orang lain, maka karakter si anak cenderung baik. Akan
tetapi jika orang tua berkata atau bersikap yang tidak baik, apalagi sering
bertengkar di depan anak, maka dalam diri seorang anak akan terbentuk karakter
yang tidak baik.
Proses pembentukan karakter atau kepribadian
terdiri atas tiga taraf, yaitu pertama, pembiasaan. Tujuannya untuk membentuk
aspek kejasmanian dari kepribadian, atau memberi kecakapan berbuat dan
mengucapkan sesuatu (pengetahuan hafalan). Contohnya antara lain membiasakan
puasa dan sholat. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat. Setelah
melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau pengetahuan
tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan
yang luhur. Pembentukan ini menanamkan kepercayaan yang ada pada rukun iman.
Hasilnya seseorang akan lebih mendalami apa yang dilakukan atau diucapkan
sehingga meningkatkan tanggungjawab terhadap setiap apa yang dikerjakan.[7]
Pendidikan karakter atau kepribadian
memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan
aspek membelajarkan knowing the good (mengetahui hal yang baik), feeling
the good (merasakan hal yang baik), desiring the good (merindukan
kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting the good
(melakukan kebaikan). Materi pendidikannya tidak terbatas pada hal-hal yang
bersifat afektif, tetapi juga yang berkaitan dengan kognitif dan psikomotor.[8]
1.
Knowing the good
Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya
sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami
kenapa perlu melakukan hal itu. Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan
buruk, namun mereka tidak tahu alasann
2.
Feeling the good
Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta
anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk merasakan efek
dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika feeling the good sudah
tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa dari dalam diri
seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.
3.
Acting the good
Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat
mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau
dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya himbauan
saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian
dari kehidupan sehari-hari.
Jadi ketiga faktor tersebut harus dilatih
secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Konsep yang dibangun, adalah habit
of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi kunci utama sebuah
bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan
maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak
bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak percaya diri.
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Ketika ketiga hal
tersebut dapat berjalan beriringan, maka akan terbentuk karakter seseorang yang
bisa baik atau buruk.
Teori
pengembangan karakter dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1)
fatalis-pasif (2) netral-pasif (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.
Proses pembentukan karakter atau kepribadian terdiri atas tiga taraf, yaitu
pertama, pembiasaan. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat. Setelah
melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau pengetahuan
tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan
yang luhur.
Pendidikan
karakter atau kepribadian memerlukan sebuah proses yang simultan dan
berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan knowing the good
(mengetahui hal yang baik), feeling the good (merasakan hal yang baik), desiring
the good (merindukan kebaikan), loving the good (mencintai
kebaikan), dan acting the good (melakukan kebaikan).
Metode
penerapan pendidikan karakter antara lain: metode tilâwah, metode
ta’lîm’, metode tarbiyah, metode ta’dîb, metode tazkiyah
dan metode tadlrîb. Penerapan pendidikan karakter dapat dilaksanakan di
keluarga, di sekolah, di masyarakat, bahkan negara dengan tujuan yang sama,
yaitu membentuk karakter seseorang sebagai bekal di kehidupan masa depan.
Namun, dimanapun pendidikan karakter itu diterapkan, penerapan di keluargalah
yang paling penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter seseorang.
Penanaman nilai-nilai seperti nilai agama, nilai sosial, akan lebih menancap di
sanubari seseorang ketika masih berada di lingkungan keluarga. Karena karakter
seseorang akan lebih mudah dibentuk ketika masih dalam usia anak-anak
DAFTAR PUSTAKA
Ihsan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan:
komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta. 2005
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat
Pendidikan. Bandung: Al-Ma’arif. 1974
Siregar, Maragustam. Mencetak Pembelajar Menjadi
Insan Paripurna: Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha Litera. 2010.
Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pasal 1. Ayat 1
[1]Tobroni, M.Si. “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam” dalam
website http://tobroni.staff.umm.ac.id/., 24 November 2010
[2] Maragustam Siregar, “Pemikiran Al-Zarnuji dalam Kitab Ta’li Al-Muta’allim tentang Pendidikan
Islam ( Telaah dalam Perpektif Filsafat Pendidikan)”http://maragustamsiregar.wordpress.com/ 8 Juni 2010
[3] Tobroni, M.Si. “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam” dalam
website http://tobroni.staff.umm.ac.id/, 24 November 2010
[5] Maragustam siregar, “konsep pendidikan islam” dalam website http:
//maragustamsiregar.wordpress.com/8 juni 2010
[8] Maragustam Siregar. Mencetak Pembelajar
Menjadi Insan Paripurna: Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha
Litera. 2010. Hlm. 126-127
Oleh: Salamat Panjaitan
0 komentar:
Post a Comment