BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di era globalisasi yang ditandai dengan persaingan
yang sangat ketat, menuntut semua pihak dalam berbagai bidang dan sector
pembangunan senantiasa meningkatkan kompetensinya, tak terkecuali seorang
pendidik. Peningkatan kualitas pendidik baik secara kuantitatif maupun
kualitatif harus dilakukan secara terus menerus, sehingga pendidikan dapat
menjadi wahana pembangun watak bangsa. Oleh karena itu pendidik sebagai main person harus ditingkatkan kompetensinya
dan diadakan sertifikasi sesuai dengan pekerjaan yang diembannya.
Akan tetapi, kenyataan yang terjadi pada pendidikan di
Indonesia belum menampakkan perubahan signifikan. Hal tersebut berkaitan erat
dengan kompetensi guru yang telah disertifikasi, pada kenyataannya belum
menampakkan tugas keprofesionalitasannya. Sehingga kalangan program sertifikasi
dipandang sebagai cara untuk mensejahterakan guru yang telah menjadi hajat
kehidupannya selama ini.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
hakikat kompetensi guru dan standar kompetensi guru?
2.
Bagaimana
hakikat sertifikasi Guru?
3.
Bagaimana
kompetensi guru pasca sertifikasi di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Kompetensi Guru Dan standar Kompetensi guru
Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun
2005 tentang guru dan dosen dijelaskan bahwa: “kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.”
Dari uraian ini nampak bahwa kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan
sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan. kompetensi guru menunjuk pada
performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu di
dalam pelaksanaan tugas-tugas pendidikan.[1]
Dikatakan rasional karena memiliki arah dan tujuan yang jelas, dan performance
merupakan perilaku nyata.
Kompetensi merupakan komponen utama dari standar
professional. Kompetensi diartikan sebagai perangkat perilaku efektif yang
terkait dengan eksplorasi dan infestivigasi, menganalisis dan memikirkan, serta
memberikan perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan
cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien.[2] Kompetensi
guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial
danspiritual secara kaffah membentuk kopetensi standar profesi guru, yang
mencangkup penguasaan materi, pemahaman peserta didik, pembelajaran yang
mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme. Adapun kompetensi yang
harus dimiliki seorang guru adalah sebagaimana dalam Standar Nasional
Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) (dalam E.Mulyasa:2007) berikut:
1.
Kompetensi
pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelol pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta
didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya.
2.
Kompetensi
kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian
yang mantab, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan peserta
didik, dan berakhlak mulia.
3.
Kompetensi
professional
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan
materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing
peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar
Nasional Pendidikan.
4.
Kompetensi
sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian
dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar.
Kompetensi guru diperlukan untuk menjalankan fungsi
profesi serta mengembangkan dan mendemonstrasikan perilaku pendidikan. Untuk
itu calon guru perlu dibekali dengan perangkat kompetensi yang dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya dalam rangka untuk
meningkatkan profesionalisme secara nasional yang menuntut standar kompetensi
agar profesi tersebut berfungsi baik.
Dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas, 2003, Pasal 35 ayat 1) mengemukakan bahwa standar nasional
pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan
harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Dari sini Nampak jelas bahwa
guru sebagai pengelola pembelajaran dituntut untuk memiliki standar kompetensi
dan professional.
Standar kompetensi dalam hal ini dimaksudkan sebagai
suatu spesifikasi teknis kompetensi yang dibakukan (BSN, 2001) yang disusun
berdasarkan konsesus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan keselamatan,
keamanan, kesehatan, iptek, perkembangan masa kini dan masa mendatang untuk
mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Standar kompetensi adalah proses
pencapaian tingkat minimal kompetensi standar yang dipersyaratkan oleh suatu
profesi. Standar kompetensi dalam program serifikasi guru lebih menekankan pada
pemberian kompetensi yang dipersyaratkan untuk bekerja secara efektif ditempat
tugas, yakni pendidikan. selain itu kompetnsi juga digunakan sebagai indicator
dalam mengukur kualifikasi dan profesionalitas guru pada suatu jenjang dan
jenis pendidikan (Depdiknas, 2004).
B. Hakikat
Sertifikasi Guru
Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang guru dan dosen, dikemukakan bahwa sertifikasi adalah proses
pemberian setifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sedangkan sertifikat
pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan
dosen sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga
professional. Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa sertifikasi
guru adalah suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu setelah lulus uji coba kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga
sertifikasi.[3]
Sertifikasi guru dimaksudkan sebagai upaya menjamin
mutu guru agar tetap memenuhi standar kompetensi, diperlukan adanya suatu
mekanisme yang memadai. Dan penjaminan mutu guru ini perlu dikembangkan secara
komprehensif untuk menghasilkan landasan konseptual dan empirik melalui system
sertifikasi. Selain itu, sertifikasi
guru merupakan pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi professional.
Adapun tujuan sertifikasi sebagaimana yang diungkapkan
oleh Wibowo (dalam E.Mulyasa:2007) sebagaimana berikut:
1.
Melindungi
profesi pendidik dan tenaga kependidikan
2.
Melindungi
masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten, sehingga merusak citra
pendidik dan tenaga kependidikan.
3.
Membantu
dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan, dengan menyediakan rambu-rambu
dan instrument untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang kompeten.
4.
Membangun
citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan.
5.
Memberikan
solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
Sedangkan manfaat dari sertifikasi sebagaimana yang
diungkapkan oleh E.Mulyasa (2007:35) adalah sebagai berikut:
1.
Pengawasan
mutu
a.
Lembaga
sertifikasi yang telah mengidentifikasi dan menentukan seperangkat kompetensi
yang bersifat unik.
b.
Untuk
setiap jenis profesi dapat mengarahkan para praktisi untuk mengembangkan
tingkat kompetensinya secara berkelanjutan.
c.
Peningkatan
profesionalisme melalui mekanisme seleksi, baik pada waktu awal masuk
organisasi maupun pengembangan karir selanjutnya.
d.
Proses
seleksi yang lebih baik, program pelatihan yang lebih bermutu maupun usaha
belajar secara mandiri untuk mencapai peningkatan profesionalisme.
2.
Penjaminan
mutu
a.
Adanya
proses pengembangan profesionalisme dan evaluasi terhadap kinerja praktisi akan
menimbulkan persepsi masyarakat dan pemerintah menjadi lebih baik terhadap
organisasi profesi beserta anggotanya.
b.
Serifikasi
menyediakan informasi yag berharga bagi para pelanggan yang ingin mempekerjakan
orang dalam bidang keahlian dan keterampilan tertentu.
C. Kompetensi
Guru Pasca Sertifikasi
Survei yang dilaksanakan Persatuan Guru Repulik
Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi terhadap kinerja guru menyatakan bahwa
kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi belum memuaskan. Motivasi kerja yang
tinggi justru ditunjukkan guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum
lolos sertifikasi. Harapan mereka adalah segera lolos sertifikasi berikut
memperoleh uang tunjangan profesi (Jawa Pos, 7/10/2009).
Dari hasil survei tersebut memperkuat dugaan sebagian
besar masyarakat bahwa program sertifikasi tersebut hanya sekedar formalitas
belaka. Tujuan dari sertifikasi belum tertuju dengan semestinya. Kebanyakan
guru masih bertujuan untuk memperoleh tunjangan profesi yang jumlahnya lumayan
besar dan dilakukan dengan berbagai cara untuk mencapainya, baik dengan cara
yang semestiya atau mengambil jalan pintas.
Kerja keras guru hanya terlihat saat mengikuti tes
sertifikasi. Lain halnya pada waktu pasca sertifikasi, kemampuan dan kualitas
guru sama saja. Dengan kata lain, dengan adanya atau tanpa sertifikasi, kondisi
dan kemampuan guru sama saja. Mununjukan indeks statis tanpa ada peningkatan
signifikan pada kualitas diri dan pembelajaran di sekolah.
Begitu banyak guru yang telah tersertifikasi sejak
tahun berlaku 2006 hingga 2011 ini. dan yang menjadi catatan kritis yang
mengacu dari proses sertifikasi selama ini yang perlu terus dikemukakan sebagai
pengingat. Pertama, sertifikasi
berpotensi menjadi komersialisasi sertifikat. Para guru hanya berorientasi pada
selembar sertifikat/portofolio. Bahkan, para guru berani membayar berapa pun
untuk ikut kegiatan seminar atau workshop pendidikan, meski hasilnya tak sesuai
dengan harapan. Tujuan utama sertifikasi, yakni meningkatkan kualitas dan
kompetensi guru, akhirnya memudar.
Kedua, bermunculan berbagai lembaga penyedia jasa seminar
atau workshop yang tidak jelas. Mereka mencari para guru yang berorientasi pada
sertifikat sebagai lampiran dalam portofolio. Bahkan, tidak sedikit lembaga
penyedia sertifikasi instan yang memanfaatkan antusiasme guru yang berorientasi
pada selembar sertifikat. Tapi, kegiatan riilnya tidak jelas.
Ketiga, selama ini sertifikasi guru hanya didominasi dan
dimonopoli guru PNS. Sedangkan guru swasta cenderung dianak tirikan.
Seharusnya, pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam kebijakan
sertifikasi. Guru swasta mempunyai hak sama untuk mendapatkan sertifikasi guna
meningkatkan kualitas dan kompetensi, juga tunjangan.
Keempat, ternyata kebijakan sertifkasi bagi guru cenderung
berorientasi pada harapan kenaikan tunjangan, bahkan sekadar formalitas yang
ditunjukkan dengan sebuah portofolio. Kadang portofolio itu juga bermasalah
dalam pengajuannya. Portofolio bisa saja dipermainkan oleh guru yang hanya
mengejar kenaikan tunjangan. Dengan begitu, tujuan awal sertifikasi, yaitu
menghasilkan standardisasi dan kualifikasi guru yang kapabel dan kredibel,
pudar. Penilaian terhadap kualitas dan kompetensi guru yang diwujudkan dalam
portofolio tersebut berpotensi subjektif.
Kelima, sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan
tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas
pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan standardisasi kualitas guru
berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan an sich. Sudah beberapa
kali gaji tunjangan guru dinaikkan, tapi hasil dan kinerja mereka masih rendah
saja. Uang miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk program sertifikasi itu bisa
sia-sia karena tak berbekas pada peningkatan kualitas pendidik dan
pengajaran.
Melihat dari hal-hal diatas, maka perlu adanya perbaikan
dari system program sertifikasi tersebut. Adapun
menurut Hujair AH. Sanaky dalam makalahnya Kompetensi dan Sertifikasi Guru “Sebuah
Pemikiran” menyarankan:
1.
Sasaran
sertifikasi guru, harus bersifat obyektif. Sertifikasi dilaksanakan untuk semua
guru, baik dari guru lama maupun calon guru, baik PNS maupun guru swasta,
sehingga tidak terjadi kesenjangan di antara para guru. Dan pemberian
sertifikat harus ditujukan kepada guru yang benar-benar berkompeten.
2.
Proses
sertifikasi para guru sebaiknya ditangani oleh lembaga badan independen yang
kompetensi dan obyektif. Semisal Lembagan Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
yang merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan ilmu pendidikan dan
keguruan, memiliki kewenangan dan pengalaman dalam pengadaan tenaga
kependidikan serta memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang
kependidikan dan non kependidikan. Lembaga tersebut harus didukung dengan
berbagai sarana kependidikan seperti sekolah laboratorium, pusat sumber belajar
dan lainnya.
3.
Agar
sertifikasi itu dapat menunjukkan kemampuan dan keterampilan guru dalam
mengajar, maka uji kompetensi dan sertifikasi harus dilakukan secara ”by
proses” bukan secara “instan”. Artinya, bagi para guru yang berasal dari
”fakultas keguruan” sebelum diuji perlu disegarkan kembali pada aspek ”materi
keilmuan”, ”keterampilan dan strategi mengajar”. Sedangkan bagi guru-guru yang
berasal dari nonkependiddikan, sebelum uji kompetsnsi dan sertifikasi, perlu
dilakukan pelatihan atau mengambil pendidikan profesi keguruan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya. Sedangkan sertifikasi adalah proses pemberian setifikat
pendidik untuk guru dan dosen. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai
pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai pengakuan yang diberikan
kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional.
Kompetensi guru pasca
sertifikasi masih belum menampakkan perubahan yang signifikan bahkan lebih
cenderung statis. Dari hal ini yang perlu dikritisi dari penyelenggaraan
program sertifikasi selama ini yakni: [1]. Sertifikasi berpotensi menjadi
komersialisasi sertifikat. [2]. Bermunculan berbagai lembaga penyedia jasa
seminar atau workshop yang tidak jelas. [3]. Selama ini sertifikasi guru hanya
didominasi dan dimonopoli guru PNS. [4]. Kebijakan sertifkasi bagi guru
cenderung berorientasi pada harapan kenaikan tunjangan, [5]. sertifikasi guru
yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif
dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru.
Untuk pemerbaikan system
penyelenggaraan program sertifikasi guru maka dalam penyelenggaraannya harus
bersifat obyektif dan selektif serta di selenggarakan oleh lembaga badan
independen yang benar-benar berkompetensi. Dan untuk kejelasan kompetensi yang
dimiliki guru, perlu dilakukan dengan cara by proses bukan secara instan.
DAFTAR
PUSTAKA
E.Mulyasa. 2007. Standar
kompetensi dan sertifikasi guru. Bandung: PT. Rosda Karya
Hamalik Oemar. 2002. Pendidikan Guru. Jakarta: Bumi Aksara
Muslich. Mansur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi
Aksara
0 komentar:
Post a Comment